Aku bisa memilih menikah dengan siapa, namun aku tak bisa memilih jatuh cinta pada siapa. Demikianlah kata Sujiwo Tejo, yang entah mengapa dulu aku dengar sambil senyum namun kuresapi maknanya sekarang.
Setidaknya bagiku, tak selamanya sayang adalah romansa. Sesekali, ia menjelma menjadi rumah penuh kenangan, hangat dengan segenap kisah penghuninya. Dalam diam, ia bersaksi atas seluk beluk rangkaian cerita, emosi, empati, dan jatuh bangun si penghuni. Ia menyaksikan mereka bertahan dalam doa saat badai besar yang mengancam, deras nan ganas; hingga intim dalam percakapan bersama secangkir teh di teras, pada akhir pekan, memandang kupu riang di halaman, ditemani hangat mentari pagi. Ia mengingat tiap kasih, seteru, amarah, tangis, benci, dan rindu mereka.
Sesekali, ia menjadi sebuah perpustakaan kecil yang kami miliki di rumah kecil itu. Kami menjelajah Middle Earth hingga Nostradamus. Kami menyapa Gibran hingga Murakami. Kami menghujat Seno Gumira hingga Lang Leav, bahkan Ramengvrl. Sekali dua kali kami berbagi kekaguman kami akan Depp Sparrow dan Ledger Joker. Kami bercanda bersama Paman Fredricksen dan aku sendiri selalu membahas kagumku pada Martin Scorsese, yang kebetulan keduanya berwajah mirip. Kami membahas post-mo setelah bercinta lalu bercerita dadaisme dan fluxus setelahnya. Kadang, kami menikmati tembakau bersama, ditemani gossip ringan lengkap dengan sarkas yang fun.
Bahkan, ia menjelma menjadi melodi di memori kami. Ia menjelma menjadi Tchaikovsky dan Debussy yang selalu mengikat auditori kami. Ia menjelma menjadi Nocturne gubahan Chopin yang kami setel selama perjalanan di mobil. Ia menjelma menjadi frekuensi di udara dalam ruangan Giovanni Biga yang sedang bermain violin di panggung, membawakan karya Bela Bartok. Aku ingat kami pernah menyaksikan Sabrina Vlaskalic membawakan lagu Asturias.
Namun, aku tak selalu di rumah. Aku kadang pergi, pergi meninggalkan konflik yang tak kuat kugeluti. Aku kadang pergi melihat orang lain yang tak sudi melihatku tinggal disana. Kadang ada tamu singgah, menanyakanku keberadaanku, namun aku sedang kehujanan diluar sana, hilang arah dibutakan kabut. Kadang ada juga yang singgah, tak tahu juga mengapa singgah disana. Kadang aku pergi jauh, menginap di kos teman, lupa bahwa aku punya rumah.
***
Aku sedang berkendara, melihat Bunda Maria di dasbor, aku jadi ingat bahwa ia adalah seorang perempuan yang harus menanggung rasa kehilangan anaknya tercinta yang disiksa dengan sedemikian rupa.
Di kabin belakang, barang-barangnya sedang kubawa, ke rumahku, karena ia sedang pergi dan tinggal di tempat lain.