Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bila Presiden SBY Berhak Atas Maaf Rakyat

27 April 2012   04:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:03 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13354999522004765188

[caption id="attachment_177445" align="aligncenter" width="292" caption="Karikatur Om Pasikom (Kompas 6 Juni 1998), Tragedi Trisakti-Semanggi"][/caption]

Cukup terkejut mendengar pernyataan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Albert Hasibuan yang menyatakan kesediaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyatakan permohonan maaf kepada warga negara yang menjadi korban pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Seperti dikutip sejumlah media Anggota Wantimpres Albert Hasibuan yang ahli hukum pidana dan di masa lampau ikut dalam sejumlah pergerakan pembelaan HAM di Tanah Air, mengatakan “Presiden akan bersedia meminta maaf atas nama negara” (24/4), dan Albert telah memberikan apresiasinya atas niat Presiden itu.

Albert Hasibuan masih mengatakan bahwa ini baru pertama kali dilakukan oleh seorang Presiden sebelunya, karena itu patut diacungi jempol. Albert Hasibuan dan Sjahrir, keduanya kemudian berada di lingkaran kekuasaan SBY,  adalah dua orang pernah duduk semeja dalam memperjuangkan spirit Indonesia Baru tahun 2004.

Sejumlah kalangan sudah memulai dengan sikap apriori, bahwa pernyataan Presiden SBY tidak lebih dari sebuah upaya perbaikan citra. Karena itu, menurut kalangan ini pernyataan maaf itu akan tereduksi maknanya sebagai sarana politik pragmatis belaka.

Betapa pun di hati kecil saya, pujian dan apresiasi dini hendak disampaikan, tampaknya lebih bijak menahan diri untuk memberikan pujian, apalagi apresiasi terhadap sesuatu yang belum dinyatakan pribadi Presiden secara terang. Namun di lain pihak, lebih bijak untuk menerima bentuk formal pernyataan maaf, tentang semua hal terkait pelanggaran HAM yang pernah terjadi dalam negara, menyangkut nilai universalitas HAM yang dilanggar, menyangkut formalitas konten Konstitusi UUD 1945, menyangkut kasus-kasus kontroversial, misalnya dan termasuk Korban dan Pelaku 1965. Karena, akhirnya warga negara akan melihat terutama seberapa besar ketulusan hati dan pribadi seorang Susilo Bambang Yudhoyono, betapa pun penting pula isi formal pernyataan Presiden sebagai Kepala Negara belaka.

Hindari Formalisme, Utamakan Ketulusan Hati Presiden

Agar permohonan maaf Presiden SBY bermakna historis, esensial dan eksitensial, Presiden SBY kiranya menghindari indikasi awal bahwa permohonan maaf ini sebuah formalisme terkait kedudukannya sebagai kepala negara di mata korban atau keluarga koban pelanggaran HAM.

Permohonan maaf “Atas nama Negara” tidak boleh memberi warna abu-abu garisntanggung-jawab pribadi manusia yang bertindak secara bertentangan dengan kemanusiaan, bahwa seolah tidak ada pribadi manusia yang bertanggung-jawab karena jabatan publik yang diembani. Presiden ex officio, artinya Presiden SBY “karena jabatannya”, dapat menyatakan permohonan maaf sebagai kepala negara mewakili kepala negara terdahulu dan sekarang dalam masa kekuasaannya. Konsekuensi pernyatan “karena jabatan” spirit permohonan maaf dan formalitasnya akan dijaga Presiden yang akan datang sebagai tindakan pejabat negara.

Permohonan maaf “Atas nama Negara” tidak boleh lalu berarti, bahwa pelanggaran HAM ini hanya terjadi di “Masa Lampau” dan oleh Presiden pendahulu saja. Karena, dalam sebuah pidato Presidennya, SBY pernah menyatakan terbuka, seolah dalam pemerintahannya tidak terjadi pelanggaran HAM. Pernyataan SBY sebelumnya, dapat dieliminir dan menjadi oto-kritik ketika pernyataan permohonan maaf melibatkan pribadi Presiden. Maka, dalam pernyataan “Permohonan Maaf atas nama Negara”, hindari bentuk mekanisme defensif yang beraroma cuci-tangan.

Sebelum menjadi Presiden, SBY adalah bagian juga dari rejim di mana sejumlah pelanggara HAM terjadi. Karena itu, semua hal ini disampaikan secara elegan, jelas dan tegas, agar masyarakat menerima bahwa, Presiden sedang melakukan sebuah permohonan maaf yang serius dan dipercaya.

Beberapa “Upaya damai” Presiden SBY terhadap pihak korban atau keluarga korban, tegas menyatakan bentuk formalisme Presiden SBY untuk “meredam” dan mensublimasi sejumlah pelanggaran HAM. Misalnya saja, keluarga korban Tragedi Semanggi-Tri Sakti yang masih mengadakan ritual “Diam Di Depan Istana”, tanpa pidato dan tanpa siaran pers, sebaliknya hanya dengan simbolik berpakaian hitam setiap hari Kamis, yang berjalan hingga saat ini.

Begitu pula, “Permohonan Maaf” Presiden misalnya menyangkut seorang Indra Azwan yang sedang berjalan kaki menuju kota suci Mekkah untuk mencari keadilan (simbolik) atas polisi yang menabrak anaknya, dan tidak mendapat sanksi apa pun. Bahwa, Indra Azwan dapat mengalami permintaan maaf Presiden, ada langkah hukum yang nyata, bahwa lewat sebuah persidangan umum yang adil dan transparan, anggota polisi yang diduga melakukan kesalahan berhak atas vonis bebas atau vonis sanksi atas kelalaian hingga pemecatan.

Di lain pihak, bila permohonan maaf menyentuh eksistensi manusia, maka akan mengerahkan seluruh energi untuk kemaslahatan Rakyat Indonesia. Sejumlah ilmu psikologi terapan modern membenarkan, bahwa permintaan maaf tidak hanya secara negatif melepaskan beban-beban dari seseorang, tetapi memberinya energi baru yang positif.

Mimpi kita adalah SBY sebagai Presiden meminta maaf atas semua tindakan Pemerintahan yang menyakiti warga negara, bahkan simbolik-ideologis “Negara yang sehat”. Presiden dengan tulus meminta maaf kepada rakyat, terutama seluruh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.

Sejumlah tokoh dunia dihargai, bukan karena kedudukannya, tetapi karena kekuatan pribadinya. Mahatmah Gandhi, Nelson Mandela, Leo Tolstoy adalah sejumlah tokoh yang dihormati dunia, karena kepribadiannya yang kuat memberi maaf. Bukan karena mereka memiliki sebuah kedudukan, dan ex officio, diterima karenanya.

Permohonan maaf Presiden SBY ex officio, kiranya mencerminkan a good political will dan sifat kenegarawanan. Terutama permohonan maaf Presiden bermakna tinggi juga bila terkait masa pemerintahannya, andaikan terjadi pelanggaran HAM yang tidak disadari atau menjadi kontroversi. Rakyat akan menghargai sebagai sejarah, bila permohonan maaf SBY melibatkan ketulusan hatinya, yang berkonsekuensi pada tindakannya ‘mengatas-namakan’ negara menyatakannya. Saya berharap SBY mendapat esensi, bukan reduksi formalitas dari sebuah permohonan maaf.

Prof. Yan van Paassen, seorang guru besar Filsafat Moral di Manado, Sulawesi Utara, pernah mengingatkan, bahwa Presiden SBY “dengan tulus telah melakukan sesuatu yang keliru". Jika demikian, jendela hati rakyat terbuka lebar, bila SBY menyatakan kekeliruannya dengan tulus. Ini jauh melampui sebuah formalitas permohonan maaf. SBY juga berhak atas 'pengampunan' dari rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun