Mohon tunggu...
Berry Budiman
Berry Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Editor sastra, penulis, pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Para Pemalas (Berpikir)

28 September 2013   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:16 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pulang dari perpustakaan dengan perasaan kesal karena memendam kesal pada para penghuni taman buku itu. Perlu kamu tahu, perpustakaan Lubuklinggau sudah memisahkan antara ruang buku (tempatmu mencari buku untuk dibaca) dan ruang baca (kau bawa buku dari ruang buku dan membawanya ke sini); kedua ruangan besarnya sama, ruang baca diberi meja-meja dan kursi yang nyaman diduduki, ada pula meja lesehan.

Lalu saya melihat wanita-wanita yang duduk di lantai di sebelah lemari buku, atau sambil menyandar di tembok, persis pengemis yang bergelimpangan di trotoar jalan. Saya tidak mendiskriminasi dengan mengatakan "wanita-wanita", hanya mengatakan hal yang sebenarnya; semua yang membaca di ruang baca adalah lelaki. Para wanita itu terdiri dari anak sekolah dan umum, dan semuanya, berjilbab (lagi, hanya mengatakan yang sebenarnya)

Yang membuat saya kesal adalah tidak adanya pegawai perpustakaan di sana yang seharusnya bertugas menertibkan para pengunjung pelanggar aturan ini. Kemana para pegawai yang "dibayar" untuk melayani kenyamanan pengunjung perpustakaan ini? Kebanyakan sedang mendekam di ruangan lain, dan berchit-chat selayaknya di warung kopi. Jika saja dunia ini adalah kartun, mungkin saya sudah menyepak para "gelandangan" yang mengganggu kenyamanan saya mencari-cari buku itu.

Saya katakan mereka adalah pemalas (berpikir). Dibanding duduk di lantai di samping rak-rak buku seperti anak terlantar, alangkah baiknya mereka membawa buku-buku yang ingin dibaca (terserah mau berapa) ke ruang baca. Di sana malah nyaman untuk membaca, dan mereka juga bisa sambil mengobrol sedikit di sana. Dan lagi, duduk di lantai sehingga mengganggu para pengunjung lain yang ingin mencari buku itu adalah hal yang memalukan. Kamu bisa diledek orang dengan bahasa tubuh, atau bahasa isyarat, mereka juga (saya) dengan santai melangkahi mereka seperti tak melihat apa pun.

Bahaya, ketika kamu sudah tak punya rasa malu. DIhina sebagai pecunang pun kau tak berani menolak karena sejatinya itulah yang kamu lakukan; melanggar aturan, mengganggu kenyamanan, dan membuat dirimu dipandang buruk oleh orang lain; dan kamu tak malu melakukan itu semua.
Dan rasa malu pula yang mestinya dimiliki oleh para pekerja, memang lebih enak mengobrol dan bersantai dibanding bekerja, tapi kau sedang membuat luntur rasa malu dalam dirimu.

Mari berpikir, aturan itu dibuat untuk memberi kenyamanan bagi kita semua. Aturan lalu lintas, berkendara, supaya kau ta mati konyol di jalanan. Aturan bersantap supaya kau tak terserang obesitas dan segala penyakit. Aturan sekolah supaya kau efektif menimba ilmu hingga kau tamat nanti. Dan beripula aturan untuk dirimu sendiri, supaya tahu mana yang baik dan buruk, supaya tak luntur rasa malumu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun