Mohon tunggu...
Berry Budiman
Berry Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Editor sastra, penulis, pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menulis Cerpen adalah Masalah ”Pengembangan Ide”

21 Maret 2012   04:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:40 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(gambar cuma buat gagah-gagahan.)

Ulasan di bawah ini, sangat sederhana, mungkin saja Anda sudah lebih paham daripada saya.

Seorang teman, pernah bilang kalau ia tidak pernah peduli dengan yang namanya kerangka karangan. Cuma, megel-megelin aja, yang penting itu langsung menulis (mengarang) saja nanti juga jadi sendiri ketika sudah dituliskan, gitu katanya. Karena teman saya ini, adalah ’guru’ menulis saya, akhirnya saya mengiyakan (angguk-angguk).

Saya terobsesi dengan petuahnya yang terdengar sangat mudah itu, maka menulislah saya dengan merdeka, tak perduli ceritanya sudah jelas atau belum, yang penting nulis. Tak-tk-tak-tik, jelek banget hasilnya (stres mode). Ternyata saya benar-benar tidak bisa memahaminya. Bagi saya, rumus tetap penting. Mungkin, saya tidak secerdas guru saya itu kali ya.

Seperti tulisan saya sebelumnya Mari! Membuat Formula... Dalam menulis cerita, kita harus tahu dulu cerita kita ini seperti apa? Maunya kek gimana? Atau terinspirasi dari media lain, sah-sah saja kok.

Misalkan saya punya pilihan tema (acak saja): Cinta, persahabatan, Lokalitas, Surealis, mengangkat sesuatu yang aktual, dll. atau gabungan...

Salah satu cerpen saya yang juga sudah saya posting Bunga Bulan bertemakan tiga hal: Cinta, aktual, dan surealis (anggaplah mengandai-andai berlebihan/lebay)

Usahakan untuk menggunakan tema gabungan, supaya tulisan Anda terasa kaya makna.

Oke, terlalu kaku jika menentukannya sebelum menulis... Paling tidak, satu tema saja dulu yang Anda pakai.

Contoh: Saya mau menulis perasaan Rindu pada kekasih yang tak pulang-pulang (Bulan)/ Bunga Bulan.

Lama sekali kau tidak menjengukku lagi Bulan. Apakah kau tersesat ... atau ada yang menculikmu. Memang kau bukan milikku, tetapi siapapun tidak berhak memonopoli cahayamu, kan!. Tahu begini, seharusnya aku sudah terlebih dahulu menculikmu (seandainya aku bisa). Ah, mengapa pikiran seperti ini yang menguasaiku. Tetapi sungguh, Bulan, kali ini kau akan benar-benar membuatku gila jika tak kunjung menemuiku. (masih beraroma cinta-cintaan)

Memang akhir-akhir ini sangat marak kasus penculikkan terhadap anak keluarga kaya, tapi kurasa kau tidak bisa dikategorikan seperti mereka. (bagian ini saya tidak rencanakan sebelumnya, tiba-tiba saja saya menuliskannya. Kemudian saya biarkan ia menjelajah pikiran, menggiring saya pada kalimat-kalimat selanjutnya) Gadis sepertimu begitu biasa untuk dianggap anak orang kaya. Ah, Bulan, biasanya memang aku tak mudah bosan karena daerah pertokoan ini cukup ramai. Mereka—dengan caranya sendiri—menghiburku tentang banyak hal (nambah-nambahin penjelasan doank). Apalagi daerah ini termasuk objek wisata yang cukup ramai sehingga tak jarang kulihat turis berlalu-lalang menikmati kuliner daerah dan bermacam kerajinan tangan pribumi yang bernilai seni tinggi. Rukun dengan warga lokal. (ha! Turis! maka muncullah ide terorisme itu) kemudian, sama seperti sebelumnya. Ide demi ide menggiring saya lagi.

Oleh karena itu, jangan kaku dengan tema yang sudah Anda tentukan, biarkan ia tercurah apa-adanya, bahkan, ketika ia menemukan ide yang lebih cantik daripada tema awal Anda, jangan ragu-ragu untuk ’bercerai’ dengan tema lama, hehe...

Ide

Ide, ide adalah nyawanya cerita. Tanpa ide yang baik, cerita Anda tidak akan enak dibaca. Dalam sebuah cerpen sebaiknya Anda hanya memiliki satu ide saja, tetapi lebih juga tidak apa-apa.

Begini, contoh (saya) mengembangkan ide:

-Tokoh saya sedang flustrasi, naik mobil, bunuh diri. Ini idenya. (Flustrasi, mobil, bunuh diri: lahirlah dua paragraf)

Sejujurnya aku tak tahu kemana tujuanku. Dengan mobil usang ini aku hanya mengikuti kehendak hati, dan jalan-ular yang menyisir laut di sisinya (naik mobil). Yang bersisa dari ingatan cuma kekecewaan pada hidup, cuma semak belukar flustrasiku. Kehidupanku adalah kehidupan yang gagal: gagal sebagai anak, sebagai suami, pun sebagai ayah. (flustrasi)

Aku tak ingat lagi sudah berapa lama tak meminum obat yang diresepkan dokter. Bahkan, aku tak ingat apakah hari ini sudah makan atau belum. Hm, apa kuterobos saja palang jalan itu supaya jatuh ke jurang; atau kutenggak bensin yang telah kupersiapkan di jok belakang; atau kubakar saja mobil ini, dengan begitu mobilku akan meledak, lalu tubuhku hancur menjadi puing-puing daging. Wah, pasti menakjubkan membayangkannya. (bunuh diri)

Perlu dipahami.

Jangan melakukan pengembangan ide sebelum menuliskannya. Kembangkan ide sebaiknya dilakukan sambil menuliskan pikiran Anda. Hal ini penting supaya Anda tidak diserang stres karena memikirkan pengembangan ide. Sekali lagi biarkan ide muncul, lalu bayangkan bagaimana enaknya Anda menuliskan ide ini dalam tulisan.

Contoh (lagi), yang—mudah-mudahan—lebih terinci:

-Aku berdiri di ujung tebing... (itu saja idenya)

Lalu kalimat pun meluncur.

Kupandangi alam dari bibir tebing. (awalnya begitu, kemudian saya kembangkan sesuai imajinasi saya) laut membentang luas di depanku, matahari mengoranye dalam blur, kapal-kapal tenggelam dari kejauhan seperti menjelaskan bahwa bumi memang bulat. Burung-burung bersahut-sahut membentuk formasi, dan gelombang laut seperti merayu-rayu di bawah. Ah, sayangnya tak ada pelangi. (ini adalah imajinasi liar saya)

Oke, cukupkah begitu... ya tak apa, lanjutkan ke ide selanjutnya. Tapi, setelah tulisan Anda cukup banyak, saran saya jangan cepat puas. Lihat kembali tulisan Anda, jika masih bisa dipercantik, kenapa tidak! Saya melihat kembali potongan cerita itu.

Saya kembangkan lagi menjadi:

"Kupandangi alam dari bibir tebing. Laut berwarna biru-gelap membentang luas sejauh mata memandang, matahari pascahujan hanya tampak seperti kuning telur yang pecah, bercecer: tak bulat sempurna. Ada kapal-kapal kecil yang berlayar dari kejauhan, kian jauh kian tenggelam badannya. Ada burung-burung yang melintas bergerombol membentuk formasi ”V” terguling layaknya ujung panah. Dan gelombang laut yang bergolak mesra, berirama seperti penari perut yang mengoyang-goyangkan pinggulnya, dan ke mana gerangan pelangi? Oya, posisiku tidak memungkinkan untuk melihatnya. Aku harus berada membelakangi matahari untuk bersitatap dengan pelangi."

Menurut saya, sudah lebih cantik... ya gak? :):):):) (bagian cetak hitam adalah ide, sisanya editan dari yang di atas)

Akhirnya, saya ingin berbagi pemahaman saya soal tulisan yang baik. Tulisan yang baik bukan tentang tokoh Anda bagaimana? Klimaksnya? Pembukaannya? Penutupnya? Permainan diksi Anda? Nasehatnya? Dan lain-lain (semua itu hanya penunjang). Bukan. Tulisan yang baik adalah tulisan yang memiliki kesatuan, bahwasanya tiap bagian itu saling mendukung saling relevan. Lihat kembali tulisan Anda, anggap saja Anda menjadi orang lain yang kritis dan membenci tulisan Anda... Temukan ketidakrelevanan itu lalu perbaiki: tata bahasa, tanda baca, gaya bahasa, terserah Anda.

Analoginya, mungkin begini, anda itu cantik/tampan (tampang-tampang Brad Pit dan Megan Fox), tetapi kaki Anda kaki kuda, rambut Anda surai singa, ekor Anda merak. Dan bau Anda adalah kerbau. Kan tidak lucu lagi, hehe....

Hmm, begitulah cara saya, karena ’teman-guru’ saya tidak suka pakai rumus-rumus akhirnya saya pakai metode semi-rumus saja. hehe... Semoga bermanfaat.

Dari orang yang baru belajar menulis.

Salam kitik, eh ketik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun