Mohon tunggu...
Bernard Simamora
Bernard Simamora Mohon Tunggu... Jurnalis - Wiraswasta, dosen, guru, pendiri dan pengelola beberapa sekolah menengah kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi di Bandung, Pengamat sosial politik dan pendidikan.

Wiraswasta, dosen, guru, pendiri dan pengelola beberapa sekolah menengah kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi di Bandung, Pengamat sosial politik dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RUU Pilkada Sarat Aksi Akrobat

22 September 2014   22:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:54 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sidang paripurna DPR RI yang akan mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU rencananya akan berlangsung pada 25 September 2014 mendatang. Dalam sidang ini publik perlu melihat dengan baik siapa yang membela hak rakyat dan siapa yang tidak. Akan makin jelas siapa politisi dan partai pemburu kekuasaan semata dan bukan representasi kepentingan rakyat, dan siapa yang pro rakyat. Menjadi jelas juga, siapa saja politisi plintat-plintut menunggangi berbagai masalah demi karir politiknya, sambil menyebar kebingungan kepada rakyat.

Polemik Pilkada lewat DPRD tampaknya sengaja dilontarkan pemerintah yang didukung Partai Koalisi (Pimpinan Partai Demokrat), yang “menjelma” menjadi Koalisi Merah Putih (KMP) Pimpinan Partai Gerindra, sebagai ajang penekanan, gertak atau menaikkan daya tawar terhadap presiden terpilih Jokowi-JK beserta partai pendukungnya. Lontaran polemik ini cukup membabi buta tanpa prediksi objektif keberhasilannya dan tidak mempedulikan aspirasi di grass root. Guliran ini, secara tidak disadari akan turut menambah legitimasi presiden dan wapres terpilih sebagai pilihan tepat dalam pilpres lalu, sembari membenarkan betapa tidak aspiratifnya KMP.

RUU Pilkada yang mengatur mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) menjadi kontroversi dan menulai pro kontra, karena hendak dikembalikan ke zaman Orde Baru, dimana kepala daerah kembali dipilih anggota DPRD.

Sikap KMP yang tiba-tiba berubah mendukung kepala daerah dipilih oleh DPRD merupakan upaya penaikan posisi tawar, atau bargaining position, karena ada sesuatu yang diinginkan dari Jokowi-JK. KMP, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, PPP, dan PAN tiba-tiba malah mendorong agar kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan segala argumen yang “dipaksa” logis dan realistis itu. Perubahan sikap yang begitu cepat dilakukan oleh sekelompok partai untuk alasan sederhana : mendapat “sesuatu” dalam pemerintahan mendatang. Hal ini diduga merupakan kelakuan elite politik untuk menciptakan tekanan ke Jokowi-JK. Karena, sebelum Pilpres 2014, tak ada parpol yang ingin jika kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Para wakil rakyat di DPR dan partai-partai pendukung Pilkada melalui DPRD sebetulnya sadar betul bakal mendapat penghakiman rakyat sebagai politisi dan partai antidemokrasi. Sebab, mayoritas rakyat Indonesia sepakat, kepala daerah harus dipilih langsung oleh rakyat. Langkah politisi dan partai yang tidak sesuai dengan arus utama rakyat itu menimbulkan konsekuensi penghakiman sosial. Mereka yang melawan kehendak rakyat, dihukum di media sosial dengan cara di-bully dan berbagai aksi demo. Mereka itu dicap sebagai orang-orang yang antidemokrasi. Sikap anggota DPR yang menolak pilkada langsung juga bakal menjadi perbincangan di akar rumput. Kalau sanksi politik terhadap yang mengingkari aspirasi rakyatnya, ya tidak dipilih lagi. Mereka tentu menyadari itu, namun mereka memperkirakan rakyat bakal cepat lupa tingkah polah antidemokrasi tersebut.

Pertarungan antara kelompok yang setuju dengan kontra pilkada langsung punya kekuatan seimbang sehingga akan terlihat jelas oleh publik. Oleh karena itu, mereka yang berbalik arah mendukung pilkada langsung berharap bakal mendapatkan impresi positif dari masyarakat. Padahal, tarik-menarik kepentingan dalam pembahasan RUU Pilkada dianggap masyarakat sebagai proses yang tidak sehat sehat. Politisi pendukung Pilkada lewat DPRD telah mengesankan diri tidak berlogika, silat lidah semata, tidak aspiratif, tidak merakyat, bahkan keterwakilan rakyat di DPR dianggap kabur atau hilang.

Belakangan, perubahan haluan Partai Demokrat berbalik mendukung Pilkada langsung, secara kasat mata sebagai aksi akrobatik. Karena, usulan RUU Pilkada sendiri datang dari pemerintah melalui Mendagri, yang notabene pembantu presiden SBY, dan SBY sendiri adalah ketua Partai Demokrat. Betapa tidak eloknya partai pemerintah (PD, dipimpin SBY) berseberangan dengan pemerintah itu sendiri (yang dipimpin SBY)! Akrobatik gaya begini memang khas SBY.

Menggadang-gadang Pilkada melalui DPRD yang RUU Pilkada disadari juga bakal menjadi bumerang bagi partai politik yang tergabung di KMP. Beberapa partai yang tergabung dalam KMP sudah mulai melembut dan merapat ke Joko Widodo-Jusuf Kalla. PPP, PAN, Partai Golkar terindikasi bakal merapat. Bargaining position diturunkan, agar Jokowi-JK bergeming. Padahal, penyeberangan ini akan menguntungkan Jokowi termasuk dalam Pilkada lewat DPRD, jika disetujui menjadi UU. Kelak yang gigit jari adalah PKS dan Gerindra.

Belakangan juga, wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon menyebut partainya juga siap bila Pilkada dilaksanakan secara langsung sebagaimana saat ini. Berbagai penyataan elit partai dalam KMP juga bersiliweran seolah-olah konsisten dengan pemimpin KMP, padahal bergerilya disisi lain. Karena, siapa pun menyadari, kehendak rakyat tidak mungkin dilawan. RUU Pilkada lewat DPRD dipastikan batal disahkan.

Persoalannya, siapa yang bakal memetik untung dari rangkaian polemik mulai dari diajukannya RUU ini hingga batal menjadi UU nanti pada 25 September 2014. Politisi yang berharap dintungkan harus dihukum secara sosial dan secara politik, agar kapok. Itu adalah SBY dan Partai Demokrat, PAN dan Hatta Rajasa, beberapa petinggi Golkar, dan beberapa politisi yang tidak berbobot lainnya. Sedangkan rakyat hanya dirugikan dengan ramainya polemik.

Plintat-plintut politisi ini menjadi energi negatif, atau energi yang mubazir yang keluar tanpa hasil apapun selain “pamrih” hibah kekuasaan tertentu dari pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK, dan mudah-mudahan tidak diberikan apa pun. Betapa bosannya rakyat dengan aksi panggung para politisi KMP ini, karena goal settingnya bukan untuk rakyat, tetapi buat politisi dan partai itu sendiri.

Rakyat memang masih harus memberi hukuman lebih banyak lagi kepada para politisi plintat-plintut dan haus kekuasaan semata, baik ditingkat pusat maupun daerah. Nama-nama politisi seperti itu dipastikan sudah gamblang dalam ingatan rakyat.

Bernard Simamora, di Bandung (08122011524)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun