Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Elit & Elit dalam Rimba Demokrasi

3 Agustus 2020   07:19 Diperbarui: 3 Agustus 2020   07:47 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elit dan Elit dalam Rimba Demokrasi #Bernard Ndruru

Demokrasi bagi para penganutnya menjadi sebuah kilatan cahaya yang menimbulkan euforia. Melalui demokrasi, kran untuk bertukar posisi dalam peran di bidang kehidupan masyarakat (khususnya dalam politik) dimungkinkan terjadi. Hal ini bisa kita lihat dalam peristiwa revolusi Perancis pada abad ke 18. Monarki absolut yang diterapkan oleh kaum Elit (Borjuis/Pemegang kendali kekuasaan) mengalami "pembusukan". KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) diantara kaum elit tidak terhindarkan. Kaum elit saling memaklumi yang berujung pada stagnansi pembangunan dan penyelewengan kuasa karena kepentingan.


Tuntutan massa dari kelompok Elit 'Ekonomi Sulit/Wong Cilik', mengusung sebuah gerakan perlawanan dengan semboyan perjuangan akan  fraternite/persaudaraan, egalite/kesederajatan dan liberte/kebebasan.

Gerakan arus bawah kelompok elit "ekonomi sulit", tidak terbendung. Dominasi sistem monarki tergantikan dengan demokrasi. Pergantian ini tentu membawa angin segar bagi masyarakat yang sudah bosan dengan gaya otokrasi.

Menjadi pertanyaan, apakah dengan terwujudnya mimpi akan demokrasi sudah dengan sendirinya mampu mengakomodir semua kebutuhan akan sebuah nilai keadilan dan kesejahteraan? Tentu, yang paling berhak menjawab ini adalah mereka yang terlibat sebagai subyek demokrasi itu sendiri, yakni masyarakat. Dalam hal ini, saya akan menggunakan istilah ELIT untuk dua kelompok besar masyarakat, yakni Elit dalam pengertian sebagai kaum penguasa 'politik' dan pemilik kekuatan yang mampu mengatur dan mempengaruhi kebijakan. Dan Elit "Ekonomi Sulit/Wong Cilik" sebagai representasi masyarakat kebanyakan yang menjadi 'obyek' dari realisasi kebijakan.

Elit dan Elit, menjadi sebuah realitas dan dinamika dalam rimba demokrasi yang kita anut sebagai sebuah bangsa berdaulat. Sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, gaya kepemimpinan otokrasi dan feodal yang terwariskan secara 'tidak sengaja' dari zaman orba tetap awet. Kehadirannya tentu dalam wajah yang berbeda. Demokrasi justru menjadi lahan suburnya polarisasi kaum Elit (baik penguasa maupun wong cilik). Polarisasi ini mewujud secara jelas dengan menjamurnya kehadiran  kelompok-kelompok dalam bentuk Partai dsb.

Polarisasi antar kaum elit ini tidak selamanya dilihat dalam nuansa yang saling bertentangan, malah sebaliknya kadang saling 'berselingkuh' untuk sebuah tujuan tertentu yakni power. Kaum Elit (Penguasa) dalam kelompok-kelompok yang terbentuk berusaha atas nama demokrasi melanggengkan power yang didapat dengan memanipulasi kelompok Elit (Wong Cilik) dalam pola solidaritas mekanik (mechanical solidarity). Pola ini seolah-olah melibatkan empati yang mendalam antara dua kubu Elit yang ada. Kaum Elit (penguasa) bertindak sebagai pahlawan, dan kelompok elit (wong cilik/ekonomi sulit) mempercayakan sepenuhnya harapannya kepada para pahlawan tersebut.

Interaksi antara dua gerbong elit ini, sarat dengan manipulasi dan transaksional. Kaum elit sebagai make decision menjual jargon keberpihakan. Melakukan rangkaian kegiatan yang bersifat sosial untuk meraih simpati pemilik hak suara. Bahkan tak jarang menggelontorkan dana yang tidak sedikit (money politic) untuk menggalang konstituen atas nama demokrasi. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, itu hanya sebuah kamuflase untuk melanggengkan posisi yang sudah diraih dan tak rela berpindah tangan. Lalu apa bedanya demokrasi dengan otokrasi?

Pembodohan ini harus diakhiri. Pilkada serentak tahun 2020, sudah di depan mata. Kelompok elit (wong cilik) harus menyadari hal ini. Jika tidak, kepemimpinan akan jatuh pada tangan-tangan yang salah yang hanya berkutat pada kepentingan pribadi kaum Elit (penguasa/borjuis) yang berjiwa kapitalis. Thomas Hobbes sudah sebelumnya mengingatkan akan situasi ini, yakni bergulirnya kembali realitas homo homini lupus.

Mengutip pernyataan penyair Jerman Bertolt Brecht, bahwa kebutaan terburuk adalah buta politik. Konstelasi politik dalam perhelatan demokrasi bernama Pilkada harus dipegang kendalinya oleh kelompok elit (wong cilik) dan bukan kaum elit (borjuis). Kelompok elit sebagai kelompok terbesar harus sadar dan siap menggunakan haknya berdemokrasi untuk memilih sosok yang memiliki hati dan passion terhadap keadilan dan kesejahteraan bersama seluruh konstituen.

Salam Demokrasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun