Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#IndonesiaTerserah, Perilaku Pasif Agresif?

19 Mei 2020   10:54 Diperbarui: 19 Mei 2020   12:35 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tagar "Indonesia terserah" menjadi viral dalam beberapa waktu terakhir. Ungkapan ini tidak muncul begitu saja, melainkan sebagai akumulasi emosional masyarakat yang terjadi akibat pandemik C-19 yang mencekam ini. 

Pemberlakuan PSBB yang belum pasti kapan berakhirnya, seolah menjadi alasan utama yang layak disalahkan. Dan hal ini menjadi wajar, manakala aturan bersama ini 'banyak' mematikan sumber daya dan mata pencaharian bagi banyak orang, terutama wong cilik yang hanya mengandalkan pendapatan dari kegiatan rutin harian.

Belum lagi bayangan kematian akibat COVID-19, yang katanya ada istilah siapkan kuburan massal, itu memang menakutkan. Artinya, kalau kematian menjadi alasan berarti ketakutan tidak hanya membelenggu wong cilik, tetapi juga kaum menengah ke atas yang secara ekonomi bisa bertahan mengganjal perut sampai beberapa tahun ke depan.

Mendengar isu adanya pelonggaran PSBB oleh pemerintah pusat sebagaimana diberitakan oleh beberapa media mainstream nasional, mencuatkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat. 

Belum lagi pernyataan Presiden RI, Jokowi yang mengatakan bahwa dalam situasi sperti ini, kita harus bisa "berdamai" dengan virus mematikan ini. 

Hal ini didukung dengan rilisan WHO yang mengatakan bahwa virus C-19 tidak akan hilang dan akan tetap ada, tinggal bagaimana kita menjalankan prosedur kesehatan untuk menghindarinya.

Ada yang setuju dilonggarkannya PSBB, karena membuka pintu akan geliat ekonomi bagi wong cilik, dan ada yang tidak setuju dengan asumsi akan potensi merebaknya virus C-19. Sementara ada kelompok yang terkesan abu-abu dengan mempopulerkan sikap "terserah".

Kata terserah dalam konteks ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan pasrah dengan keadaan. Sebab pada dasarnya mereka juga menyimpan ketakutan akan bencana lapar dan kematian. 

"Jenis kelamin" abu-abu (sikap bipolar) seperti ini kadang membingungkan dan tak jarang justru menjadi bumerang di lain waktu. Karena sikap ini bisa berubah haluan kapan saja tanpa seorang tahu memihak atau melawan.

Dalam ilmu psikologi, kata terserah ditendensikan sebagai ungkapan sikap bipolar yang pada ujungnya memuat sifat pasif-agresif. Seseorang dengan perilaku pasif agresif mengekspresikan perasaan negatifnya lewat perilaku, lewat akun medsos yang saat ini tidak membatasi siapapun untuk memposting perasaannya. 

Ini tentu menciptakan jarak antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang tidak setuju dengan sebuah rencana, mungkin tidak akan membantah, tetapi diam-diam tidak mau mendukung apalagi menjalankannya. Pokoknya, "Terserah!".

Dalam situasi seperti saat ini banyak dari kita tidak menyadari bahwa dirinya bersikap pasif agresif, dan bahkan merasa normal dengan hal itu. Bisa jadi, malah merasa sikap itu yang terbaik demi menghindari pertikaian. 

Tetapi disisi lain mengatakan juga bahwa "saya tidak peduli", lakukan saja maumu, waktu akan memberikan jawaban, tetap bertahan hidup atau mati sekalian. Dan sikap ini sangat berbahaya dalam konteks kebangsaan yang plural. Ibarat duri dalam daging, dibiarkan sakit, dicabut juga sakit.

Hikmah yang ada

Ada atau tidak ada C-19 hidup di dunia ini memang penuh resiko. Engga mati sakit, ya mati kecelakaan di jalan. Kini atau besok, kematian pasti terjadi bagi siapa saja. Ini soal takdir kehidupan. 

Kalau kita memahami ini, maka semua orang sebetulnya sudah ada sistem peringatan dini bagaimana bisa bertahan dari segala resiko. Manusia bukan hanya punya kecerdasan genetik untuk terhindar dari predator, tetapi juga manusia punya akal untuk berpikir cerdas menghadapi resiko. Karena itulah ada istilah hidup berakal mati beriman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun