Panggilan Illahi membangunkanku di pagi petang
Lewat hamba-Nya kalimat indah itu diserukan lantang
Kini t'lah tiba waktuku bersujud dan memuja
Tak kupungkiri jika jin bernama kantuk menggantung di kedua mata
Namun aku rindu,
Dan rindu itu t'lah membelengguku
...
Pagi, kubuka dengan khayalan yang tak berarti
"Mentari dan embun, seperti dua insan yang tak mungkin dipisahkan..."
"Mencoba bersama, namun mereka berbeda..."
"Seperti abdi yang melamunkan Pangeran Kodok berubah hingga datang senja..."
Aneh!
Kuputuskan tuk kembali, tinggalkan khayalan purba
Bersiap, menuju tempat yang 'katanya' penuh ilmu guna menggapai mimpi
...
Siapakah aku?
Dua tahun lebih rutinitas duduk dan menjadi pendengar baik
Bertanya tanpa ada arah tujuan, seringkali digunakan untuk menjatuhkan teman
Terkadang ketika giliran tiba, ku mencoba bahkan 'berpura-pura' menjadi pemateri handal
Siapkah aku berhadapan dengan masa depan?
Jika tempat dimana ilmu bertahta laiknya colloseum tempat para gladiator berada
Membuka dan membaca buku, setidaknya menapik datangnya dusta
Namun menjadikanku sosok yang dzolim detik itu juga
...
Secepatnya ingin kupergi, meninggalkan area dimana Gladiator berdiri
Mencari tempat duduk dan menyepi
Kucoba memaknai segala yang terjadi selama seperempat hari
Memaknai setiap peristiwa berteman segelas es cokelat di siang bolong ini
Setiap kata yang kucerna terasa hambar,
Seakan -- akan lambung akal ini menginginkan mereka keluar
Setidaknya segelas es cokelat cukup mencairkan suasana,
Membekukan diksi kata tanpa arti yang keluar dari mulut mereka
...
Ah sudahlah, kucukupkan bulir huruf ini membentuk kata
Menyusunkan kalimat tanpa arti dan bersifat fana
Karna yang kekal hanyalah Tuhan Yang Maha Esa
...
Tulisan hina ini kusambung ketika senja
Dan akan kutulis tentangmu,
Cinta...
Malang, 11/10/2017
Ocehan Berlian Meilya