Namun, sosok itu bergerak. Gerakannya aneh, terhuyung dan meraba-raba seperti sedang mencari sesuatu dalam kegelapan. Ia bergeser perlahan ke arah jendela kamarku.
Aku merasakan suhu ruangan turun drastis, dinginnya menusuk hingga ke tulang. Lidahku kaku, semua ayat kursi dan istighfar yang kuingat terasa tercekat di tenggorokan. Aku berusaha menjerit, tapi hanya udara beku yang lolos
Tepat ketika sosok itu mencapai jendela dan bayangan tanpa kepalanya menelan cahaya neon yang tersisa, kengerian itu menjadi terlalu berat. Rasa takut yang brutal itu menekan, menggerogoti kesadaranku hingga akhirnya... semua meredup, tak bersisa.
Aku tersentak sadar oleh suara sandal beradu dan celotehan teman-temanku yang baru pulang selepas Isya. Wajahku pasti pucat dan sembab, karena mereka menatapku heran.
Aku menceritakan semuanya, tentang kengerian di malam Barzanji itu. Mereka tertawa kecil. "Ah, pasti kamu mimpi, Ketua. Dampak dari demam itu," kata salah satu, menepuk pundakku.
Aku ikut tertawa, pura-pura setuju. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu... itu bukan mimpi.
Saat aku membuka pintu, kulihat ada bekas jejak kaki berlumpur yang dalam di lantai depan kamar padahal semalam sama sekali tidak hujan.
Dan di dinding putih dekat jendela, di tempat sosok itu berdiri, ada sebuah noda merah kental yang sudah kering. Noda itu berbentuk samar seperti cap jari yang menempel dan tertekan kuat.
Sejak malam itu, aku tak pernah berani tinggal sendirian di kamar lagi. Setiap kali ada Barzanji, suara shalawat yang dulu menenangkan kini malah membuat bulu kudukku berdiri.
Aku masih belum bisa memastikan...
Apakah malam itu aku benar-benar bermimpi