Mohon tunggu...
Berliani November
Berliani November Mohon Tunggu... Mahasiswa : komunikasi

Tak sekadar menulis, tapi mencoba memahami dunia lewat kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanpa Kepala di Malam Barzanji

6 Oktober 2025   19:25 Diperbarui: 6 Oktober 2025   19:25 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi digital oleh AI Gemini (atau Gambar dibuat dengan teknologi AI berdasarkan deskripsi penulis).

Suara shalawat malam itu masih samar-samar terdengar. Malam Minggu di pesantren seharusnya terasa hangat dipenuhi lantunan barzanji yang membuat hati tenang. Namun malam itu, suara merdu itu justru terasa seperti dengungan jauh yang terisolasi, seolah ada lapisan tipis yang memisahkan kamarku dengan dunia luar.

Aku sedang sakit. Badanku panas tinggi sejak siang. Semua teman sekamar pergi ke mushola, meninggalkan aku tergeletak sendirian. Kamar ini bekas ruang kelas yang disulap jadi tempat tidur santri kini terasa jauh lebih besar dan dingin dari biasanya.

Lampu neon di langit-langit bergetar dan berkelap-kelip. Cahaya redup itu menciptakan bayangan aneh di setiap sudut. Aku menarik selimut tebal, mencoba menekan denyutan di kepala dan keringat dingin yang menetes di pelipis. Ketika mata hampir terpejam, suara itu datang.

Langkah kaki. Pelan, tapi berat dan menyeret.

Tok... tok... tok...

Suaranya berhenti tepat di depan pintu. Aku mengira itu teman yang lupa sesuatu. Tapi, tidak ada salam. Tidak ada ketukan yang jelas. Hanya keheningan yang tiba-tiba mencekik.

Daun pintu kayu itu berderit pelan, terbuka hanya selebar jari. Dari celah sempit itu, bulu kudukku langsung berdiri tegak. Aku melihatnya.

Seseorang berdiri di sana. Posturnya tegap, dibalut sarung lusuh dan baju koko kelabu. Namun, kengerian sejati muncul ketika aku mencoba mencari wajahnya.

Kepalanya tidak ada.

Jantungku melonjak dan menghantam rusuk sekuat-kuatnya. Suara shalawat dari mushola seakan menghilang, ditelan oleh keheningan mutlak. Aku memaksa diri meyakini: Ini pasti mimpi. Aku halu karena demam tinggi.

Namun, sosok itu bergerak. Gerakannya aneh, terhuyung dan meraba-raba seperti sedang mencari sesuatu dalam kegelapan. Ia bergeser perlahan ke arah jendela kamarku.

Aku merasakan suhu ruangan turun drastis, dinginnya menusuk hingga ke tulang. Lidahku kaku, semua ayat kursi dan istighfar yang kuingat terasa tercekat di tenggorokan. Aku berusaha menjerit, tapi hanya udara beku yang lolos

Tepat ketika sosok itu mencapai jendela dan bayangan tanpa kepalanya menelan cahaya neon yang tersisa, kengerian itu menjadi terlalu berat. Rasa takut yang brutal itu menekan, menggerogoti kesadaranku hingga akhirnya... semua meredup, tak bersisa.

Aku tersentak sadar oleh suara sandal beradu dan celotehan teman-temanku yang baru pulang selepas Isya. Wajahku pasti pucat dan sembab, karena mereka menatapku heran.

Aku menceritakan semuanya, tentang kengerian di malam Barzanji itu. Mereka tertawa kecil. "Ah, pasti kamu mimpi, Ketua. Dampak dari demam itu," kata salah satu, menepuk pundakku.

Aku ikut tertawa, pura-pura setuju. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu... itu bukan mimpi.

Saat aku membuka pintu, kulihat ada bekas jejak kaki berlumpur yang dalam di lantai depan kamar padahal semalam sama sekali tidak hujan.

Dan di dinding putih dekat jendela, di tempat sosok itu berdiri, ada sebuah noda merah kental yang sudah kering. Noda itu berbentuk samar seperti cap jari yang menempel dan tertekan kuat.

Sejak malam itu, aku tak pernah berani tinggal sendirian di kamar lagi. Setiap kali ada Barzanji, suara shalawat yang dulu menenangkan kini malah membuat bulu kudukku berdiri.

Aku masih belum bisa memastikan...

Apakah malam itu aku benar-benar bermimpi

Atau memang ada seseorang...

Tanpa Kepala yang pernah datang mencariku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun