Mohon tunggu...
Berliani November
Berliani November Mohon Tunggu... Mahasiswa : komunikasi

Tak sekadar menulis, tapi mencoba memahami dunia lewat kata.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Cireng Rp50 Ribu: Bukan Sekadar Jajanan, Ini Pajak 'Hype' Influencer!

17 Juli 2025   13:29 Diperbarui: 17 Juli 2025   13:29 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar cireng sumber: Pinterest 

CIREBON, 17 Juli 2025 -- Pernahkah Anda terkejut melihat sebungkus cireng, snack kekinian, atau sebotol minuman biasa dibanderol dengan harga fantastis? Bukan di restoran mewah, melainkan di lapak online yang digawangi para influencer kesayangan Anda. 

Fenomena "mahal kok dibeli?" ini menjamur. Seolah ada semacam "pajak tak tertulis" yang dikenakan pada setiap produk yang disentuh oleh tangan-tangan influencer dengan jutaan pengikut. Di balik daya pikat paras dan narasi personal branding yang kuat, pasar produk influencer kini menjadi medan ujian bagi logika konsumsi dan godaan hype.

Jejaring sosial kita kini dibanjiri rilis produk influencer. Hampir setiap hari, ada saja selebgram atau content creator yang meluncurkan lini bisnis sendiri. Dulu, mungkin hanya fesyen atau skincare. Kini, bahkan cireng, seblak instan, atau keripik singkong pun naik kelas. Yang jadi soal: harganya bukan lagi harga kaki lima, melainkan harga bintang lima!

Sebuah cireng yang di warung dibanderol Rp10 ribu, mendadak bisa mencapai Rp30 ribu, Rp50 ribu, bahkan lebih ketika di endorse atau diproduksi oleh influencer. Keripik yang biasa saja, tiba-tiba menjadi "premium" dengan kemasan estetik dan narasi "resep turun-temurun" dari sang idola. Pertanyaannya: Apa yang sebenarnya kita bayar? Kualitas, atau sekadar ilusi prestige dan bagian dari 'lingkaran dalam' sang idola?

"Pajak Hype": Mengapa Kita Rela Membayar Lebih?

Fenomena ini bukan sekadar tentang produksi dan distribusi. Ini adalah studi kasus menarik tentang psikologi konsumen di era digital:

  •  Efek Halo Influencer: Kita cenderung mengasosiasikan kualitas produk dengan citra positif influencer. Jika influencer itu terlihat sukses, cantik/tampan, dan bergaya hidup mewah, ada keyakinan tak langsung bahwa produknya pun pasti berkualitas tinggi. Ini adalah "aura" yang tak terlihat tapi bernilai jual.
  •  Biaya Branding Personal: Setiap story promosi, setiap endorsement gratisan yang mereka lakukan untuk produknya sendiri, adalah buah dari investasi miliaran rupiah yang mereka tanamkan dalam personal branding selama ini. Harga yang kita bayar itu adalah kompensasi atas "iklan berjalan" yang tak pernah berhenti itu.
  •  Narasi FOMO dan "Fear of Missing Out": Influencer adalah master dalam menciptakan hype. Mereka membangun narasi bahwa produk ini "wajib punya", "lagi viral", atau "stok terbatas". Kita, sebagai konsumen, tak ingin merasa ketinggalan dari tren atau dari lingkaran pertemanan online yang sudah duluan mencoba. Ini adalah dorongan emosional yang sering mengalahkan logika harga.
  •   "Support Idol" (Dukungan Idola): Bagi sebagian besar followers loyal, membeli produk sang influencer adalah bentuk dukungan nyata, bagian dari fanatisme. Harga mahal dianggap sebagai investasi kecil untuk mendukung karier idola mereka.

Ironi Konsumsi di Era Digital: Antara Kualitas dan Popularitas

Tak bisa dipungkiri, ada produk influencer yang memang inovatif dan berkualitas. Namun, tak sedikit pula yang justru menuai kritik karena tak sepadan dengan harganya. Ini menciptakan ironi: konsumen seolah diajak berlomba membeli sesuatu yang harganya mungkin tidak rasional, hanya demi status atau ikut-ikutan tren.

Ini bukan sekadar tren sesaat. Ini adalah sebuah sistem ekonomi baru, di mana influencer bukan lagi hanya endorsement tool, melainkan brand owner seutuhnya. Namun, sebagai konsumen, sudah seharusnya kita lebih kritis. Apakah kita membeli karena kebutuhan, karena kualitas, atau semata-mata karena ilusi hype yang diciptakan?

Pada akhirnya, dompet kitalah yang menjadi penentu. Apakah kita rela membayar "pajak hype" yang terkadang tak masuk akal, atau memilih untuk menjadi konsumen cerdas yang mengutamakan nilai dan kualitas sesungguhnya? Pasar influencer akan terus bergejolak, dan kita, para konsumen, adalah saksi sekaligus aktor utama di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun