Di bab 1, kamu mungkin nulis latar belakang dengan penuh semangat dan harapan. Di bab 2, kamu mulai capek karena teori nggak ketemu-ketemu. Di bab 3 sampai 4, mungkin kamu nulis sambil nangis karena capek, revisi terus, atau dosen bimbingan nggak fast respon. Dan di bab 5, kadang kamu merasa lega, karena akhirnya kamu bisa sampai juga ke akhir.
Ada juga yang masukin "sedikit" rasa kesal ke dalam kalimat akademik. Misalnya, kamu memilih topik yang sebenarnya adalah sindiran buat sistem atau fenomena yang kamu benci. Kamu mengkritik lewat analisis, kamu berbicara lewat data. Dan itu sah-sah saja. Karena skripsi bukan cuma soal kelulusan---tapi juga soal ekspresi.
Dalam proses menulis skripsi, hampir semua orang akan sampai di satu titik: LELAH . Entah itu lelah secara fisik karena begadang, lelah secara mental karena revisi nggak habis-habis, atau lelah secara emosional karena merasa sendirian dalam perjuangan ini.
Tapi justru di titik itu, kamu mulai benar-benar mengenal dirimu sendiri. Kamu tahu batasmu, kamu tahu apa yang bikin kamu tetap kuat, dan kamu mulai sadar bahwa skripsi bukan sekadar syarat lulus. Ia adalah bentuk kecil dari kehidupan ada perjuangan, ada pengorbanan, dan ada proses tumbuh di dalamnya.
Sebagai mahasiswa semester dua, aku tahu perjalanan masih panjang. Tapi melihat cerita-cerita tentang skripsi dari TikTok, baca pengalaman orang, dan dengerin curhatan senior, bikin aku sadar satu hal: skripsi bukan soal pintar atau nggaknya seseorang. Tapi soal bagaimana dia bertahan, mengelola emosi, dan terus bergerak meski pelan.
Aku jadi kepikiran, nanti waktu nulis skripsi, aku bakal di posisi mana ya? Lagi jatuh cinta atau patah hati? Atau mungkin cuma lagi bosan dan pengen cepat selesai? Apa pun itu, sekarang aku mulai paham bahwa emosi bukan hal yang harus dihindari saat menulis skripsi. Justru mereka bisa jadi "teman" yang membantu kita menyelesaikannya.
Skripsi itu bukan cuma tulisan ilmiah. Di dalamnya, ada cerita, ada emosi, ada perjuangan yang nggak kelihatan dari luar. Mungkin orang lain cuma lihat kamu duduk di depan laptop, tapi mereka nggak tahu kamu nulis sambil nahan nangis, sambil senyum-senyum, atau sambil mikir, "Kapan ini selesai, Tuhan?"
Jadi kalau nanti kamu lagi jatuh cinta, manfaatkan energinya buat menulis. Kalau lagi patah hati, tuangkan semua sakitnya ke dalam analisis. Kalau lagi jenuh, ingat bahwa ini cuma satu fase dari hidupmu. Dan kalau kamu merasa nggak punya alasan untuk nulis, mungkin kamu bisa bikin skripsi itu jadi alasan buat terus bertahan.
Karena pada akhirnya, skripsi itu bukan cuma soal kamu lulus. Tapi juga soal bagaimana kamu jujur sama diri sendiri dengan perasaan yang pernah kamu simpan, dan cerita yang akhirnya bisa kamu selesaikan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI