Mohon tunggu...
Berliani  Warsah
Berliani Warsah Mohon Tunggu... 24107030143

mahasiswa ilmu komunikasi universitas Islam negeri sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Antara Cinta, Luka Dan Revisi.

20 Mei 2025   05:03 Diperbarui: 20 Mei 2025   15:18 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto Webothbettergo(Sumber : Akun Tiktok Webothbettergo))

Beberapa waktu lalu, aku nonton satu video dari akun TikTok @webothbettergo yang cukup "nendang." Isinya sederhana, tapi bikin mikir: "Syarat nulis skripsi itu, kamu harus lagi jatuh cinta atau patah hati." Kedengarannya lucu, agak lebay, tapi jujur ada benarnya juga. Apalagi pas dia bilang bahwa skripsi itu bukan cuma tugas akademik, tapi tempat di mana kita bisa menuangkan semua emosi yang nggak bisa diucapkan: rasa senang, titik jenuh, sampai kebencian sekalipun.

Sebagai mahasiswa semester dua, aku memang belum masuk ke tahap nulis skripsi. Tapi dengerin cerita itu bikin aku punya bayangan. Ternyata nulis skripsi bukan cuma soal data, teori, dan revisi. Di baliknya, ada cerita pribadi, ada perjuangan batin, bahkan kadang ada luka yang nggak pernah disembuhkan semua bisa tertuang dalam lembaran skripsi yang "katanya" kaku

 

(Foto Webothbettergo(Sumber : Akun Tiktok Webothbettergo))
(Foto Webothbettergo(Sumber : Akun Tiktok Webothbettergo))

Jatuh cinta adalah hal paling ringan tapi paling kuat yang bisa dirasakan manusia. Dan ketika itu terjadi bersamaan dengan proses nulis skripsi, rasanya jadi seperti ada tenaga ekstra. Kamu bangun pagi dengan semangat, otak lebih jernih, dan kamu mulai mikir ke depan

Kadang cinta masuk ke dalam cara kamu memilih topik skripsi. Mungkin kamu jadi lebih peka, lebih peduli pada hal-hal kecil, atau bahkan secara nggak sadar, kamu menulis karena kamu ingin ada seseorang yang bangga sama kamu. Kamu bisa jadi lebih tekun karena kamu ingin cerita skripsimu berakhir manis kayak kisah cintamu.

Tapi bukan berarti skripsimu harus tentang cinta. Maksudnya, rasa itu bisa masuk ke dalam semangatmu, ke dalam konsistensi kamu bangun pagi, nyari referensi, bimbingan, bahkan begadang semalaman cuma buat satu revisi. Cinta memberi arah, tujuan, dan harapan. Kadang harapan itu cukup untuk bikin kamu terus jalan.

Sebaliknya, ada juga yang nulis skripsi dalam kondisi hati yang hancur. Nggak ada yang enak dari patah hati. Dunia terasa diam, lagu-lagu jadi lebih nyesek, dan hidup kayak kehilangan warna. Tapi dari semua kekosongan itu, ada satu hal yang bisa kamu pegang: skripsi.

Waktu kamu patah hati, kamu punya banyak waktu kosong yang dulu biasanya diisi sama pasangan. Waktu itu bisa kamu alihkan buat mikir topik, riset, ngedit bab, atau sekadar tenggelam dalam jurnal-jurnal ilmiah yang entah kenapa tiba-tiba lebih menarik dari isi chat yang sekarang sepi.

Menulis skripsi sambil patah hati bisa terasa seperti terapi. Kamu bisa menuangkan luka itu ke dalam setiap kalimat, bahkan kadang kemarahanmu muncul dalam cara kamu mengkritisi teori. Kamu nggak hanya menulis untuk lulus, tapi kamu menulis untuk sembuh.

Yang paling kena dari video TikTok itu adalah pernyataan bahwa skripsi bisa menjadi wadah dari semua yang nggak bisa kita ucapkan. Kita sering kali menyimpan banyak hal dalam hati: rasa kecewa, lelah, kesal, semangat, harapan. Dan semuanya bisa keluar saat kita menulis skripsi.

Di bab 1, kamu mungkin nulis latar belakang dengan penuh semangat dan harapan. Di bab 2, kamu mulai capek karena teori nggak ketemu-ketemu. Di bab 3 sampai 4, mungkin kamu nulis sambil nangis karena capek, revisi terus, atau dosen bimbingan nggak fast respon. Dan di bab 5, kadang kamu merasa lega, karena akhirnya kamu bisa sampai juga ke akhir.

Ada juga yang masukin "sedikit" rasa kesal ke dalam kalimat akademik. Misalnya, kamu memilih topik yang sebenarnya adalah sindiran buat sistem atau fenomena yang kamu benci. Kamu mengkritik lewat analisis, kamu berbicara lewat data. Dan itu sah-sah saja. Karena skripsi bukan cuma soal kelulusan---tapi juga soal ekspresi.

Dalam proses menulis skripsi, hampir semua orang akan sampai di satu titik: LELAH . Entah itu lelah secara fisik karena begadang, lelah secara mental karena revisi nggak habis-habis, atau lelah secara emosional karena merasa sendirian dalam perjuangan ini.

Tapi justru di titik itu, kamu mulai benar-benar mengenal dirimu sendiri. Kamu tahu batasmu, kamu tahu apa yang bikin kamu tetap kuat, dan kamu mulai sadar bahwa skripsi bukan sekadar syarat lulus. Ia adalah bentuk kecil dari kehidupan ada perjuangan, ada pengorbanan, dan ada proses tumbuh di dalamnya.

Sebagai mahasiswa semester dua, aku tahu perjalanan masih panjang. Tapi melihat cerita-cerita tentang skripsi dari TikTok, baca pengalaman orang, dan dengerin curhatan senior, bikin aku sadar satu hal: skripsi bukan soal pintar atau nggaknya seseorang. Tapi soal bagaimana dia bertahan, mengelola emosi, dan terus bergerak meski pelan.

Aku jadi kepikiran, nanti waktu nulis skripsi, aku bakal di posisi mana ya? Lagi jatuh cinta atau patah hati? Atau mungkin cuma lagi bosan dan pengen cepat selesai? Apa pun itu, sekarang aku mulai paham bahwa emosi bukan hal yang harus dihindari saat menulis skripsi. Justru mereka bisa jadi "teman" yang membantu kita menyelesaikannya.

Skripsi itu bukan cuma tulisan ilmiah. Di dalamnya, ada cerita, ada emosi, ada perjuangan yang nggak kelihatan dari luar. Mungkin orang lain cuma lihat kamu duduk di depan laptop, tapi mereka nggak tahu kamu nulis sambil nahan nangis, sambil senyum-senyum, atau sambil mikir, "Kapan ini selesai, Tuhan?"

Jadi kalau nanti kamu lagi jatuh cinta, manfaatkan energinya buat menulis. Kalau lagi patah hati, tuangkan semua sakitnya ke dalam analisis. Kalau lagi jenuh, ingat bahwa ini cuma satu fase dari hidupmu. Dan kalau kamu merasa nggak punya alasan untuk nulis, mungkin kamu bisa bikin skripsi itu jadi alasan buat terus bertahan.

Karena pada akhirnya, skripsi itu bukan cuma soal kamu lulus. Tapi juga soal bagaimana kamu jujur sama diri sendiri dengan perasaan yang pernah kamu simpan, dan cerita yang akhirnya bisa kamu selesaikan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun