Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Begini Sebaiknya Etika Anak terhadap Harta (Warisan) Orangtua

1 Desember 2022   18:27 Diperbarui: 2 Desember 2022   14:16 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi harta (KMA Mesir via Palembang.Tribunnews.com)

Hubungan orangtua dan anak memang sangat dekat, seperti tanpa sekat layaknya. Namun, tetap saja untuk urusan harta (warisan) orangtua, anak harus memilki etika.

Beberapa waktu lalu saya ngobrol santai dengan Bu Min (bukan nama sebenarnya), seorang kenalan di gereja. Entah bagaimana, di tengah perbincangan tahu-tahu saja Bu Min curhat tentang seorang anaknya, bungsu laki-laki. 

Bu Min bercerita, satu kali, saat suaminya belum genap seminggu meninggal dunia, anak bungsunya (sebut saja Rano) mengajaknya berbicara empat mata. 

Semula Bu Min tidak pernah berpikir bahwa apa yang akan menjadi topik pembicaraan adalah masalah harta. Bu Min sendiri bukan orang kaya, tetapi juga bukan orang yang berkekurangan. Almarhum suaminya seorang pensiunan PNS.

Dalam pembicaraan tersebut, Rano membicarakan perihal rumah yang kini ditempati Bu Min (bersama almarhum suaminya dulu).

Menurut Rano, sesuai adat atau budaya suku mereka (suku ayahnya, sementara ibunya dari suku berbeda), rumah orangtua adalah hak milik anak bungsu laki-laki.

Dalam pembicaraan itu seolah Rano ingin menegaskan bahwa cepat atau lambat rumah yang ditempati Bu Min akan menjadi milik Rano. 

Bu Min sangat kaget mendengar apa yang dikatakan Rano saat itu. Bukankah suaminya, ayah Rano sendiri baru saja meninggal dunia? Aroma kesedihan itu masih begitu kuat. Teganya anak kandung sendiri malah memikirkan harta berupa rumah, yang bahkan masih ditempati ibunya. 

Rano sendiri sebenarnya bukan pengangguran. Rano memiliki posisi karier yang cukup baik di sebuah perusahaan swasta.

Hanya saja, menurut Bu Min, entah apa sebabnya, setelah dewasa Rano terlihat lebih materialistis dan hedonis. Hal ini tampak dari gaya hidup Rano yang lebih mengedepankan kesenangan dan kemewahan.

Untunglah Bu Min akhirnya mampu menguasai diri setelah mendengar perkataan Rano yang membuatnya shock. Selanjutnya, dengan tegas Bu Min berkata, bahwa rumah dan segala harta hasil jerih payahnya beserta suami tercinta tidak akan kemana-mana. 

Selama Bu Min masih hidup, semua harta itu, rumah beserta beberapa kavling tanah akan berada di bawah kuasanya. Tidak ada seorang anak pun yang berhak mengaku-aku harta tersebut miliknya selama tidak ada penyerahan kuasa dari Bu Min. 

Bu Min menegaskan pula, sejak semula Bu Min dan suaminya tidak pernah membeda-bedakan kelima anaknya. Semua anak sama berharganya di mata mereka, anak sulung hingga anak bungsu, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada pembedaan termasuk pada pembagian harta orangtua nantinya. 

Jadi, Bu Min dan suaminya sejak awal sudah memutuskan untuk tidak mengikuti aturan adat dan budaya apapun dalam hal pemberian atau pelimpahan harta bagi anak. Pada akhirnya nanti, semua harta milik Bu Min dan almarhum suaminya akan dibagi rata kepada lima anaknya, tanpa pilih kasih. 

Namun, itupun tidak berlaku ketika orangtua masih hidup. Pembagian itu hanya akan dilakukan ketika kedua orangtua sudah meninggal dunia, dan itupun dilakukan oleh anak yang telah diberi tanggung jawab. Cuma memang pembicaraan tersebut hanya sebatas pembicaraan antara suami dan istri, belum sampai kepada anak-anak mereka.

Rano pun langsung terdiam mendengar penjelasan dan keputusan yang tegas dan lugas dari Bu Min. 

Meskipun akhirnya Rano mengakhiri pembicaraan, tetapi terlihat jelas Rano tidak puas dengan keputusan ibunya. Hal itu pula yang menjadi kegelisahan Bu Min kini. Takut sewaku-waktu Rano bertindak semaunya sendiri, di luar perkiraan Bu Min. 

Beberapa kerabat Bu Min sudah menyarankan untuk Bu Min segera membuat surat wasiat, perihal pembagian harta. Mencegah ribut-ribut di antara anak andaikata bu Min sudah tidak ada.

***

Harta orangtua memang bisa menjadi sumber kasak-kusuk dan ribut-ribut di antara anak. Bahkan seringkali menantu dan cucu-cucu ikut merecoki.

Terlepas dari perspektif adat dan budaya suku tertentu, atau perspektif agama, melalui tulisan ini saya hanya ingin mengulas perihal harta (warisan) orangtua ini dari perspektif rasional, menurut pikiran dan pertimbangan yang logis.

Dalam perspektif rasional ini, harta (warisan) yang saya maksudkan juga adalah harta murni hasil jerih payah orangtua, bukan hasil warisan leluhur, dan juga bukan hasil sharing usaha dengan anak. 

Harta orangtua selamanya menjadi hak orangtua

Orangtua bekerja seumur hidupnya untuk mengumpulkan harta. Ada yang sampai pensiun, bahkan ada yang bekerja hingga napas terakhirnya.

Bukankah menjadi hal yang wajar dan masuk akal bila semua orang yang bekerja dan berusaha mengakui hasil jerih payahnya sebagai harta miliknya?

Namun, akan menjadi terdengar aneh ketika anak yang tidak ada sumbangsih apapun di sana, tiba-tiba mengaku memiliki hak atas harta orangtuanya, bahkan dengan menyeret aturan ini dan itu sebagai upaya menguatkan klaimnya tersebut.

Harta orangtua sudah seharusnya menjadi hak dan kekuasaan orangtua. Orangtua sendiri yang berhak menentukan akan diapakan hartanya, atau akan ke mana harta miliknya nanti bermuara.

Sudah sepantasnya anak tidak memiliki hak menentukan atau mengklaim bahwa harta orangtuanya akan diwariskan kepadanya. Diwariskan atau tidak, kembali semua adalah hak "prerogatif" orangtua.

Sebagai anak yang sudah dibesarkan dan disekolahkan, sudah seharusnya bertanggung jawab memikirkan hidupnya sendiri, mencari hartanya sendiri untuk masa depannya.

Anak boleh berbicara tentang harta ketika orangtua mengajak berbicara. Anak juga boleh memberikan saran ketika memang diminta saran oleh orangtua.

Ketika akhirnya anak mendapat bagian dalam pembagian harta, sebaiknya bersyukurlah berapapun yang diterima, bersyukurlah karena cinta kasihnya orangtua yang masih memikirkan untuk menyisishkan hasil jerih payah bagi anak-anaknya.

Jangan menjadi anak egois

Berkaca dari kasus Bu Min dan Rano anaknya, seperti memang ada yang salah dengan Rano. Rano secara sepihak mengklaim bahwa rumah Bu Min adalah haknya, dengan menggeret aturan adat sukunya. 

Padahal Bu Min dan suaminya tidak pernah membicarakan perihal harta kepada anak-anaknya termasuk Rano. 

Melihat kasus ini, apakah Rano tidak pernah berpikir, bahwa perkataannya itu bisa saja sangat menyakiti hati ibunya. Bagaimana bisa seorang anak mengklaim rumah ibunya, sementara ibunya tidak pernah memberikan kuasa, dan ibunya masih tinggal di dalam situ?

Lalu, apakah Rano juga tidak berpikir, bila dia berkuasa atas rumah, lalu kakak-kakaknya yang lain bagaimana? Bukankah ini pemikiran yang sangat egois? Hanya memikirkan kepentingannya sendiri tanpa peduli orang lain termsauk ibu dan saudara-saudaranya.

Ketika berbicara tentang harta orangtua, tidak peduli anak sulung, anak bungsu, anak laki-laki, atau anak perempuan, sudah sepantasnya pikiran rasional yang dikedepankan. Jangan sampai menyenangkan satu pihak, tetapi menyakiti pihak lainnya.

Saya ingat, sewaktu masih sekolah dulu, ayah saya berulang-ulang mengingatkan kami anak-anaknya, kira-kira begini,

"Kami orangtua tidak menjanjikan harta warisan apapun. Harta warisan yang kami berikan kepada kalian adalah pendidikan. Makanya, sekolahlah yang benar selama kami masih mampu membiayai. Pendidikan itulah yang nantinya menjadi modal penghidupan kalian, bukan harta orangtua."(MW)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun