BUJUR
        Pagi yang cerah, diiringi dengan suara merdu dari seruling yang dimainkan seorang lelaki buta di tepi sawah. Suara serulingnya begitu merdu bagaikan nyanyian bidadari yang menggetarkan jiwa, suara serulingnya begitu menyatu dengan suara alam seolah-olah menjadi instrumen pengiring yang begitu sempurna. Ia terus memainkan seruling hingga beberapa burung bangau datang mengelilinginya untuk menikmati bunyi angin merdu itu. Orang-oran memanggilnya "Bujur" seorang lelaki yang telah memasuki usia  berkepala dua. Ia belum menikah, bukan karena tidak ada yang suka, tetapi ia sendiri yang telah menolak beberapa lamaran dari wanita, dengan alasan ia tidak ingin istrinya nanti menderita karena orang-orang akan memanggilnya istri dari si buta.
        "Di mana si Bujur ni ya..?" Gumam seorang lelaki yang telah beristri dua, kumisnya terbelah dua yang telah ia warnai menjadi coklat kemerahmerahan. Kepalanya botak licin sehingga memantulkan kilatan cahaya matahari yang melukai pupil mata. Untungnya, ia tidak akan bisa melukai Bujur, si lelaki buta yang jujur.
        Ia menyusuri sawah miliknya, berusaha mencari si Bujur yang sedang menggembala kerbau miliknya. "eh, suara ini... Ooh, di sana ia rupanya!" Ia berjalan dengan langkah panjang, nafas terengah-engah seperti kuda yang kehausan, sorot matanya tajam dan alisnya mengkerut.
        "Onde Mande Bujur...Hei! Kenapa kamu asyik main seruling terus huh!?" Ungkap lelaki botak tersebut, kepalanya mengkilat menyerang sorot mata Bujur tapi tidak berpengaruh sama sekali.
        "Astagafirullah pak Jup? Ada apa pak?" Bujur terkaget dengan kehadiran tuannya yang tiba-tiba.
        "Lihatlah kerbau itu hah, sudah masuk ke parit..."
        "Lah, kenapa bisa pak?"
        "Kamu kok tanya saya?"
        "Saya gak lihat tadi pak.."