Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Latah Aplikasi Dalam Semangat Digital Government

11 Desember 2022   20:58 Diperbarui: 13 Januari 2023   12:43 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi internet (Gerd Altmann/Pixabay)

Istilah digital government atau electronic government (e-government) muncul di abad 21 merespon disrupsi digital dunia. Salah satu implementasinya, organisasi pemerintah ramai-ramai membangun aplikasi digital.

Penggunaan aplikasi digital memang sudah menjadi keharusan di zaman ini namun menjadi kekhawatiran ketika inovasi diterjemahkan dengan aplikasi digital dan memunculkan kesan latah. Esai ini mengantarkan argumentasi kelatahan dalam fenomena digital government, khususnya di Indonesia.

Makna digital government

Digital government merujuk pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam organisasi pemerintah. TIK dapat digunakan untuk melayani publik, disamping operasional internal organisasi itu sendiri. Sejatinya, digital government bertujuan untuk meningkatkan interaksi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha untuk peningkatan kondisi politik, sosial, dan ekonomi.

Sejatinya, digital government bertujuan untuk meningkatkan interaksi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha untuk peningkatan kondisi politik, sosial, dan ekonomi.

Para pakar dan peneliti menyebutkan ragam manfaat dari penerapan digital government namun esai ini menyoroti dua hal yang menjadi garis besar, yaitu hal problem solving dan efficiency.


Penerapan digital government diharapkan dapat memecahkan masalah yang ditemui di lapangan (problem solving). Misalnya, ketika informasi cenderung sulit diperoleh dengan cara klasik yang menggunakan kertas pengumuman dan telepon, maka dibangunlah website untuk bisa memberikan informasi dan interaksi lebih luas.

Contoh lain, ketika proses pengadaan barang dan jasa secara manual dan tatap muka dianggap membuka lebar peluang kolusi dan korupsi, maka dibangunlah sistem pengadaan secara elektronik.

Manfaat kedua dari penerapan digital government adalah penghematan energi dan sumber daya alam lainnya (efficiency). Salah satunya dengan mengurangi penggunaan kertas yang berdampak pada eksploitasi pohon (paperless).

Digitalisasi dan sistem online juga mengurangi penggunaan bahan bakar untuk mobilitas pegawai pemerintah dalam menjalankan tugasnya maupun  yang digunakan masyarakat untuk berinteraksi dengan pemerintah.

Bentuk-bentuk aplikasi digital yang umum digunakan antara lain website, media sosial, dan aplikasi seluler. Aplikasi seluler adalah aplikasi yang khusus digunakan pada telepon seluler dengan cara di-instal. Aplikasi seluler biasanya berupa ruang obrolan (chat) dan program lainnya yang lebih kompleks seperti absensi, pelaporan, pendaftaran perizinan/nonperizinan, dan lainnya.

Efek Bandwagon

Dalam sepuluh tahun terakhir, organisasi pemerintah, baik di pusat maupun daerah membangun banyak layanan digital. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI menyebutkan setidaknya ada 24.400 aplikasi digital yang telah dibangun organisasi pemerintah di seluruh Indonesia (Hakim, 2022).

Pengalaman empiris menunjukkan bagaimana aplikasi digital seakan menjadi indikator inovasi, sampai-sampai diperlombakan. Fenomena ramai-ramai membangun aplikasi digital ini pun memunculkan kesan "latah" atau efek Bandwagon.

Efek Bandwagon adalah istilah untuk efek ikut-ikutan, yakni ketika seseorang ikut melakukan suatu hal tertentu karena banyak orang lain sedang melakukannya (tren). Ada beberapa faktor yang disinyalir mendorong fenomena "kelatahan" ini, yakni: semangat untuk berinovasi dari individu internal organisasi, tuntutan dalam pendidikan aparatur, dan upaya pemecahaan masalah.

Harus diakui bahwa banyak individu di organisasi pemerintah yang visioner, kreatif, dan tanggap perubahan sehingga bersemangat untuk melakukan inovasi berbasis digital. Kondisi ini biasanya terjadi pada pimpinan yang baru menjabat. Pada satu sisi, hal ini positif namun sisi negatifnya terlihat jika inovasi yang dilakukan tidak terencana dengan baik sehingga tidak terlaksana dengan baik pula.

Dorongan membangun aplikasi digital juga dipengaruhi tuntutan dalam program pendidikan dan pelatihan SDM. Pada diklat kepemimpinan tingkat IV PNS misalnya, peserta diwajibkan untuk merancang sebuah inovasi.

Kebijakan ini kemudian menjadi masalah ketika inovasi kadung diidentikkan dengan penggunaan Teknologi Informasi (TI), padahal seharusnya tidak demikian. 

Inovasi adalah ide dan gagasan untuk perubahan demi pemecahan masalah yang bisa diwujudkan dengan atau tanpa membangun aplikasi digital. Misalnya sistem kepegawaian baru, standar operasional yang ramah pengguna, hingga perubahan desain ruangan kantor untuk perubahan iklim kerja dan pelayanan.

Inovasi adalah ide dan gagasan untuk perubahan demi pemecahan masalah yang juga bisa diwujudkan tanpa membangun aplikasi digital.

Faktor terakhir yang mendorong pembangunan aplikasi digital pemerintah adalah upaya untuk memecahkan masalah (problem solving). Faktor ini harusnya benar-benar menjadi pusat kajian dalam merancang aplikasi digital.

Faktanya, banyak aplikasi digital pemerintah yang dibangun atas ide individu, entah itu prakarsa staf atau janji kampanye pemimpin. Sering prakarsa ini tidak diuji oleh kajian ilmiah, bahkan proses realisasinya relatif kilat. Bermunculanlah website dan aplikasi bernama awal "SI" atau "SIM" yang dibanggakan organisasi pemerintah.

Tidak berguna dan pemborosan

Dampak dari efek Bandwagon adalah ketidakefektifan. Ketidakefektifan dekat dengan pemborosan atau inefisiensi. Pembuatan aplikasi digital tentu menggunakan biaya yang tidak sedikit. Jika tidak berfungsi sebagaimana mestinya atau tidak memberikan manfaat, maka aplikasi tersebut tidak efisien dan pemborosan anggaran.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan banyak aplikasi digital di kementerian dan lembaga non kementerian yang tidak berguna (Darmawan, 2022). Menteri Komunikasi dan Informasi RI Johnny G. Plate mengakui bahwa puluhan ribu aplikasi pemerintah tidak efisien. Menurut Menteri Kominfo, pada tahun 2022, ada 2.700 pusat data (server) yang digunakan pemerintah, 3 persen diantaranya berbasis cloud, dan selebihnya berdiri sendiri-sendiri (Dewi, 2022).

Inefisiensi layanan aplikasi digital bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain, termasuk negara maju. Wikipedia mencatat banyak proyek aplikasi digital pemerintah di berbagai negara yang gagal, anggaran terlalu besar, dan mengalami permasalahan fungsi ("List," n.d.).

Pada tahun 2011, ada sekitar 2.000 website departemen dan lembaga pemerintah yang berbeda di Inggris. Portalnya lambat, biaya pemeliharaan mahal, dan banyak konten yang tidak perlu atau duplikasi. Konon, tidak berorientasi pada kebutuhan pengguna tetapi kebutuhan pemerintah ("DGS," n.d.).

Penelitian yang dilakukan Government Digital Service pada tahun 2016 telah menunjukkan bahwa 73 persen konten website pemerintah di Inggris hanya dilihat oleh kurang dari 10 orang per bulan (Hill, 2016). Tindakan reformasi pun dilakukan kemudian.

Berdasarkan pengalaman empiris penulis, permasalahan terbesar pada aplikasi digital pemerintah terdapat pada empat hal berikut: tidak terintegrasi, tidak berkelanjutan, tumpang tindih, dan tidak sesuai kebutuhan.

Tidak terintegrasi

Bahasa pemrograman dan database yang berbeda-beda menyebabkan aplikasi-aplikasi tidak terintegrasi. Belum lagi soal political will. Sering ditemui kondisi dimana masing-masing organisasi memiliki aplikasi elektronik tetapi tidak dapat berkomunikasi satu dengan yang lain. Dampaknya, masyarakat, bahkan pegawai organisasi sendiri masih harus pergi ke sana ke mari untuk memproses urusan dan dengan membawa dokumen fisik.

Tidak berkelanjutan

Ketidakberlanjutan sering terjadi pada aplikasi website dan aplikasi seluler berbasis informasi lainnya. Setelah dibangun, informasi tidak diperbarui secara konsisten hingga kemudian ditinggal oleh penggunanya. Sementara itu, alamat website sering berganti-ganti karena habis masa sewa dan tidak diperpanjang oleh pejabat suksesor.

Tumpang tindih

Tidak sedikit aplikasi yang tumpah tindih dengan aplikasi lain karena memiliki fungsi yang sama. Keadaan ini sering terjadi pada aplikasi obrolan (komunikasi), surat-menyurat, dan informasi lainnya.

Aplikasi yang telah ada, bahkan versi gratisan, jika telah memiliki basis pengguna luas dan penyimpanan data besar, seyogyanya menjadi pertimbangan untuk digunakan. Alih-alih membangun aplikasi baru yang belum tentu seideal aplikasi yang telah ada.

Misalnya, aplikasi komunikasi telah banyak tersedia, tak perlu membangun yang baru. Portal berita juga ada dimana-mana, tak perlu jadi konten website organisasi pemerintah.

Tidak sesuai kebutuhan

Beberapa aplikasi yang dibangun organisasi pemerintah nyatanya tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga jarang, bahkan tidak digunakan sama sekali. Umumnya, hal ini terjadi karena lemahnya analisis saat perencanaan. Kegagalan sebuah aplikasi kadang kala bukan dikarenakan teknis dan fungsi aplikasi itu sendiri tetapi bisa jadi karena kesiapan pegawai atau masyarakat sebagai penggunanya.

Satu instansi pernah membangun aplikasi komunikasi internal pegawai sekitar tahun 2012-2014 dan tidak berjalan baik. Sebabnya antara lain, saat itu spesifikasi telepon seluler rata-rata pegawai masih terbatas. Selain itu, lifestyle juga belum mendukung cara berkomunikasi seperti yang dimaksud. Belakangan setelah tahun 2015, aplikasi WhatsApp mulai populer yang akhirnya menjadi aplikasi wajib dalam organisasi bahkan pelayanan ke masyarakat, tanpa perlu menggunakan anggaran khusus.

Kriteria aplikasi digital ideal

Tentunya tidak semua aplikasi digital pemerintah useless. Aplikasi yang terkait perizinan diakui sangat bermanfaat meski kemudahan penggunaanya sering menjadi kritikan. Aplikasi lain yang dianggap berguna oleh masyarakat adalah aplikasi seputar pajak dan keuangan, serta tentang cuaca dan bencana.

Aplikasi perizinan, pajak dan keuangan, serta cuaca dan bencana adalah aplikasi-aplikasi yang dianggap sangat berguna oleh masyarakat

Melihat praktik-praktik digital government di lapangan, baik secara empiris maupun tinjauan literatur, kriteria aplikasi digital yang ideal dapat disimpulkan sebagai berikut:

Problem solving

Aplikasi digital pemerintah harus memecahkan masalah dan itu merupakan faktor utama. Pada beberapa kasus, kehadiran aplikasi baru tidak memecahkan masalah secara komprehensif, malah menimbulkan masalah baru yang lain.

Fungsi monitoring dan evaluasi harus benar-benar dijalankan. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa masalah tidak terpecahkan, maka berarti layanan digital tersebut gagal. Aplikasi harus dimodifikasi, diganti, atau dihapus.

Customer-oriented 

Layanan digital pemerintah harus berorientasi pada masyarakat dan dunia usaha, baik untuk menyelesaikan masalah atau memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, usulan dan perencanaan harus berangkat dari masyarakat dan dunia usaha itu sendiri, setidaknya ada keterlibatan. Paradigma pemerintahan New Public Service menempatkan publik sebagai pusat operasional organisasi pemerintah, bukan lagi berpusat pada ide-karsa pimpinan.

Update

Aplikasi digital pemerintah harus selalu diperbarui secara konsisten. Petugas yang ditempatkan untuk mengelola harus benar-benar berdasarkan keahlian seperti bahasa, jurnalistik, foto-video, desain grafis, layanan konsumen, hingga programmer. Dunia digital adalah dunia yang berputar cepat. Informasi berumur pendek, sehingga pembaharuan menjadi kunci penting.

Function-based 

Aplikasi harus berbasis fungsi dan tidak tumpang tindih. Kebutuhan akan fungsi aplikasi harus jadi indikator utama dalam perencanaan dan evaluasi, bukan hanya prestise. Jika ada aplikasi lain yang berfungsi sama, sebaiknya digunakan atau diintegrasikan, bukan membangun aplikasi baru.

Penutup

Digital government adalah tuntutan zaman seiring perkembangan teknologi yang perlu disikapi secara proporsional. Efek Bandwagon merupakan aspek kemanusiaan yang bisa terjadi di mana pun termasuk dalam konteks pembangunan aplikasi digital sehingga perlu dikelola secara tepat. 

Negara-negara maju juga mengalami fenomena yang sama. Bedanya, hal itu terjadi sekitar sepuluh tahun lalu, telah terdeteksi, dan telah dilakukan kebijakan perbaikan signifikan.

Dibutuhkan penelitian lebih rinci untuk mengetahui peta evaluasi aplikasi digital organisasi pemerintah agar analisis lebih jauh dapat dilakukan. (*)

Referensi:

Darmawan, B. (2022, 12 Juli). Atasi puluhan ribu aplikasi kementerian tak berguna, Sri Mulyani ambil sikap. Pikiran Rakyat. 

Dewi, I. R. (2022, 13 Juli). 24.000 aplikasi pemerintah mau disuntik mati, ini gantinya. CNBC Indonesia. 

GDS replaced 1,882 government websites with GOV.UK. (n.d.). Public Digital. 

Hakim, A. R. (2022, 12 Juli). Ada 24.400 aplikasi di pemerintahan, Menkominfo bakal pangkas. Liputan 6. 

Hill, R. (2016, 7 Desember). Civil service time "being wasted" producing unread web content, says GDS. Civil Service World. 

List of failed and overbudget custom software projects. (n.d.). In Wikipedia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun