Mohon tunggu...
AG. Bayu Pradana
AG. Bayu Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Berbagi Pembelajar

Kunjungi - https://berbagipembelajar.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memahami Pentingnya Keluarga Tangguh Bencana

13 Februari 2021   10:14 Diperbarui: 13 Februari 2021   10:38 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga Tangguh Bencana (Dok. BNPB)

Indonesia terletak di kawasan Cincin Api Pasifik yang secara geografis dan klimatologi mempunyai tantangan untuk melindungi dan memperkuat masyarakat dari ancaman risiko bencana. Pergerakan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo Australia di bagian selatan, lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, lempeng Eurasia di sebelah utara (dimana disebagian besar wilayah Indonesia) dan disertai daerah aliran sungai (5.590 DAS) mengakibatkan risiko bencana geologi seperti gempabumi, tsunami, letusan gunung api (127 gunung api aktif) maupun gerakan tanah/longsor. 

Indonesia terletak di kawasan Cincin Api Pasifik yang secara geografis dan klimatologi mempunyai tantangan untuk melindungi dan memperkuat masyarakat dari ancaman risiko bencana. 

Pergerakan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo Australia di bagian selatan, lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, lempeng Eurasia di sebelah utara (dimana disebagian besar wilayah Indonesia) dan disertai daerah aliran sungai (5.590 DAS) mengakibatkan risiko bencana geologi seperti gempabumi, tsunami, letusan gunung api (129 gunung api aktif) maupun gerakan tanah/ longsor. 

Dampak pemanasan global dan pengaruh perubahan iklim pada wilayah perairan laut Indonesia cenderung menimbulkan potensi terjadinya berbagai jenis bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, cuaca dan gelombang ekstrem, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) BNPB, antara tahun 2005-2015, Indonesia mengalami lebih dari 15.400 kejadian yang terdiri dari 78% (11.648) merupakan kejadian bencana hidrometeorologis seperti banjir, gelombang ekstrim, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, cuaca esktrem dan sekitar 22% (3.810) merupakan kejadian bencana geologis seperti gempabumi, longsor, tsunami dan letusan gunung berapi. Dari grafik pada gambar 2 di bawah ini, tampak bahwa kecenderungan jumlah kejadian bencana relatif terus meningkat dari tahun ke tahun.

Jumlah kejadian bencana geologis lebih sedikit bila dibandingkan dengan bencana hidrometeorologis. Meskipun demikian, bencana geologis, khususnya gempabumi dan tsunami sangat berpotensi menimbulkan jumlah korban yang banyak dan kerugian ekonomi yang besar dalam satu kali kejadian, dibandingkan dengan bencana hidrometeorologis yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang. 

Peningkatan intensitas kejadian bencana hidrometeorologis dipengaruhi oleh perubahan iklim dan perubahan tata guna lahan dan lingkungan akibat bertambahnya kebutuhan ruang karena meningkatnya pertumbuhan penduduk dan aktivitas dalam ruang yang memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas ekosistem.

Tingginya potensi ancaman dan jumlah masyarakat yang terpapar risiko bencana menyebabkan perlunya meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat secara terus menerus sehingga masyarakat di seluruh Indonesia dapat mengetahui bagaimana harus merespon dalam menghadapi situasi kedaruratan bencana.

Masalah mendasar yang ditemukan di masyarakat diantaranya adalah belum mengetahui ancaman dan informasi peringatan dini, lokasi titik kumpul dan arah jalur evakuasi baik di rumah maupun di luar rumah, melanggar batas rambu peringatan wilayah/ area bahaya saat erupsi gunung, panik dan tergesa-gesa saat kejadian bencana yang menimbulkan kecelakaan, tersengat listrik saat banjir, kelalaian dampak arus pendek mengakibatkan terjadinya kebakaran di pasar dan pemukiman, serta kurangnya pengarahan penanganan untuk kelompok rentan khususnya lansia. 

Terakhir, kejadian Gempabumi Lebak, Banten 6.1 SR (2018) yang berdampak pada Gedung, Perkantoran, dan Pemukiman di Jakarta telah menimbulkan kepanikan sekaligus peringatan bahwa mendesaknya kesiapsiagaan masyarakat untuk selamat. Semua hal tersebut mendorong diperlukannya peningkatan kapasitas secara terus-menerus.

Berdasarkan survei pada kejadian gempabumi Hanshin-Awaji Jepang tahun 1995 menunjukkkan bahwa 34,9 % korban dapat selamat karena upaya penyelamatan diri mandiri; 31,9 % selamat dengan bantuan anggota keluarga; 28,1% selamat karena pertolongan teman/tetangga; 2,6 % selamat ditolong oleh orang yang pada saat kejadian dekat dengan korban; 1,7 % dibantu oleh tim penyelamat. Survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar korban selamat adalah karena dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya terutama keluarga, bukan dari tim penolong. Oleh karena itu, kesiapsiagaan dan ketrampilan masyarakat, khususnya keluarga menjadi kunci utama keselamatan dalam menghadapi bencana.

Pengurangan risiko bencana berbasis kearifan lokal yang telah menyatu dalam adat tutur dan nyanyian "smong" menjadi pelajaran berharga sejak kejadian bencana di tahun 1907. 

Hal tersebut secara turun temurun telah membudaya di masyarakat Simelue dalam membantu penyelamatan jiwa dari amukan bencana tsunami. Berdasarkan pengalaman tersebut, sangat jelas bahwa pembelajaran penting yang didapat dari Jepang dan Indonesia adalah penguasaan pengetahuan penyelamatan yang dimiliki oleh diri sendiri, keluarga dan komunitas di sekitarnya.

Pada situasi darurat diperlukan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat untuk mengurangi risiko. Seluruh anggota keluarga harus membuat kesepakatan bersama agar lebih siap menghadapi situasi darurat bencana. 

Rencana kesiapsiagaan keluarga (family preparedness plan) harus disusun dan dikomunikasikan dengan anggota keluarga di rumah, kerabat yang ada dalam daftar kontak darurat, serta mempertimbangkan sistem yang diterapkan lingkungan sekitar dan pihak berwenang.

Skenario kejadian dibuat bersama oleh seluruh anggota keluarga dan berbagi peran dalam setiap skenarionya sesuai jenis bahaya yang mengancam. Bila rencana sudah disepakati, keluarga perlu melakukan simulasi secara berkala agar tidak panik dalam situasi darurat #siapuntukselamat.

Dalam upaya meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat, Pemerintah melalui inisiasi BNPB mencanangkan tanggal 26 April sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana. Tanggal tersebut dipilih untuk memperingati momen bersejarah kesadaran masyarakat Indonesia terkait ditetapkannya Undang- Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 

Latihan evakuasi mandiri merupakan aktivitas utama yang dilaksanakan secara serentak pada pukul 10.00 waktu setempat yang diikuti oleh seluruh kalangan dan masyarakat. Dengan demikian diharapkan partisipasi semua pihak untuk melakukan latihan evakuasi mandiri sekaligus menguji sarana dan prasarana kesiapsiagaan menghadapi bencana minimal 1 kali dalam satu tahun.

@agbp2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun