Aku resah. Gelisah. Padahal udara cukup cerah. Tapi, aku tetap gundah.
Di luar, keramaian sebuah kampong yang banyak dihuni anak kos tidak pernah berkurang. Siang malam. Suara ibu-ibu yang ngerumpi pun sepertinya tidak mau kalah. Tawa mereka sesekali  terdengar  keras. Semua tetap saja tidak bisa menghalau resah ini.
Kubalikkan badan yang terebah di kasur busa ini ke kanan-kiri. Memeluk guling, menutup muka dengan bantal atau menggeram sendirian. Segalanya sudah kulakukan. Namun, tetap saja resahku tak terhindarkan.
Sekelebat kutangkap sebentuk foto di bingkai yang tergantung di dinding. Senyum manisnya sedikit memaksa senyumku keluar juga.
Kupaksa tubuh ini berdiri dan mengambil foto itu dari pakunya. Lalu kuperhatikan lekat-lekat. Mataku tak berkedip.
Ah, Rindil. Ternyata pesonamu masih mampu membuatku terpana. Tidak pernah pudar. Seperti dulu.
Senyummu. Tawamu. Rambut indahmu. Lekuk badanmu. Perhatianmu. Deretan gigi putihmu.
Dan ..... ukh!
Kutarik nafas kesal. Kugeletakan begitu saja foto itu di karpet merah penutup lantai kamarku ini.
Aku tak akan menemui segala keindahan Rindil lagi. Semua akan berakhir. Semua akan tidak mempunyai makna lagi.
Dua hari lalu Rindil datang ke sini. Semula memang ngobrol seperti layaknya kami berpacaran. Tak lama sesudah itu dia mengucapkan kalimat yang tak pernah ku sangka. "Nok saya minta putus."