Mohon tunggu...
Ben Nurdiansyah
Ben Nurdiansyah Mohon Tunggu... Penulis - Millenial penerus generasi bangsa

Damailah Indonesiaku!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Suara Blombongan dari Konvoi Kampanye Tak Lagi Terdengar?

23 Januari 2019   04:24 Diperbarui: 11 Februari 2019   10:42 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemusnahan knalpot blombongan (YAMIN ABD HASAN/KOMPAS.com)


Sekitar tahun 1996 saya sekeluarga sudah tinggal di Sleman meski masih ngontrak. Kebetulan, tempat tinggal kami dekat jalan raya. Waktu itu saya masih berusia empat tahun. Di tahun ini bertepatan dengan suasana Pemilu 1997. Jadi, jalan raya di depan kontrakan sering dilewati rombongan kampanye. Mereka konvoi dengan knalpot blombongan yang mengeluarkan suara keras.

Sebagai anak kecil, saya merasa terhibur dengan adanya konvoi itu. Tak sekalipun saya mengeluh karena berisik dan sebagainya. Justru, saya menanti-nanti rombongan kampanye di depan rumah. Ya, rombongan konvoi kampanye itu jadi hiburan tersendiri. Apalagi, mereka kadang melakukan atraksi menarik.

Mei 1997 ketika Pemilu diselenggarakan, saya sekeluarga sudah pindah ke rumah tetap yang jaraknya sekitar 200 meter dari kontrakan sebelumnya. Memang tidak begitu jauh, tetapi lokasinya agak jauh dari jalan raya.

Jelang Pemilu 1999, saya duduk di kelas 2 SD. Konvoi kampanye masih ada. Meski tak dekat jalan raya, suara knalpot blombongan dari rombongan konvoi masih bisa terdengar. Jadi kalau ada suara knalpot semakin keras seolah mendekat, saya bergegas bersepeda ke arah jalan raya untuk melihat konvoi kampanye.

Namun entah mengapa semakin bertambah dewasa, cara pandang mengenai kampanye seperti ini berubah. Saya makin tak simpatik kepada peserta konvoi itu. Saya justru mulai simpatik dengan pengguna jalan lainnya dan siapapun yang tinggal di dekat jalan raya. "Pengguna jalan lain, murid-murid sekolah, usia lanjut, bayi, dan lain-lain masa ga keganggu suara knalpot seperti itu?"

Jika saya mengikuti cuitan di Twitter, ternyata ada juga beberapa netizen yang merasa terusik dengan adanya konvoi tersebut. Namun, ada pula feedback dari yang pro terhadap konvoi kampanye. Mereka mengatakan bahwa kampanye seperti itu sudah menjadi tradisi.

Feedback itu membuat saya bertanya-tanya, "Apakah setiap tradisi pantas dilestarikan tanpa memikirkan efek baik dan buruknya di masyarakat?" Dulu, di Jawa pernah ada tradisi Pati Obong, yaitu tradisi ketika janda secara suka rela (atau dipaksa) dibakar tubuhnya hidup-hidup di dekat jenazah suami. Nah, itu juga tradisi. Tapi, apakah itu layak dilestarikan atau dihidupkan kembali? Saya kira tidak karena dengan patokan norma saat ini, itu bisa dinilai sebagai kekerasan terhadap perempuan dan pastinya melanggar hukum.

Saya juga tinggal di dekat sungai yang cukup besar. Menurut cerita tetangga, sungai tersebut dikeramatkan dan dulu pernah ada tradisi menaruh sesaji di situ. Sekarang sudah tidak ada lagi yang menaruh sesaji. Hal itu saya kira sejalan dengan perubahan penduduk sekitar yang semakin religius. Kalau tradisi tersebut dilestarikan, saya pikir orang-orang akan menolaknya karena bertentangan dengan nilai agama.

Dari dua contoh tersebut, bolehlah saya simpulkan bahwa tak semua tradisi harus dilestarikan jika suatu saat ditemui bahwa kenyataannya merugikan masyarakat atau tak sejalan lagi dengan nilai sosial di masyarakat.

Demikian pula untuk konvoi kampanye  dengan sepeda motor berknalpot blombongan. Jika "tradisi" ini kenyataannya mengganggu ketenangan masyarakat, saya kira sudah sepantasnya untuk dihentikan. Lagipula kampanye seperti ini juga tak sejalan dengan "unggah-ungguh" warga Yogyakarta, terutama dalam bersikap Tepa Selira atau Tenggang Rasa dalam Bahasa Indonesia.

Tanggapan Polda DIY

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun