Mohon tunggu...
Tirto Karsa
Tirto Karsa Mohon Tunggu... Buruh Pabrik -

"Hidup hanya senda gurau belaka"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terkenang

9 Juni 2018   23:55 Diperbarui: 9 Juni 2018   23:55 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku pun berdiri meninggalkanmu dengan tanpa jawab. Masuk kedalam rumah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepindahan kami ke kota.

*** 

Pagi itu, saat udara terasa meneduhkan. kamu telah menungguku di ujung gang tempat kontrakan kumuhku. Di sebuah warung kopi dengan menghisap beberapa batang rokok. Aku memperhatikanmu dari kejauhan sambil membaca berkas yang kamu selipkan beberapa bulan sebelumnya saat perjalananku ke kota. 

Berkas yang berisi setidaknya ratusan nama tokoh berpengaruh di negara ini yang telah kamu awasi sejak bertahun-tahun lalu saat kita masih duduk di bangku perkuliahan. Aku menggelengkan kepalaku, saat ku temukan sebuah berkas investigasi pertama kita. Sebuah berkas yang kita tulis saat bersamaan dengan sidang Tugas Akhirku. Sidangku gagal karena penulisan itu dan berkasnyapun lenyap dari penglihatanku. Aku tersadar, ternyata kamu yang selama ini menyembunyikannya. 

Banyak sekali tokoh yang kamu tuliskan dalam berkas itu. Mungkin itulah yang membuatmu merasa perlu melibatkanku. Kamu tidak akan sanggup mengangkat semua kasus itu sendiri. Kamu membutuhkan juru bicara semacam aku. Seseorang yang telah lama kamu kenal sebagai pelobi. Hanya saja, aku tidak berharap meneruskan gerakan itu. 

Maka, segera aku pergi ke Rumah Sakit tempat istriku bekerja lewat gang belakang dan bermaksud menghindarimu. Aku tidak ingin terlihat ragu di hadapanmu. Aku tidak ingin mengecewakanmu. 

Akupun bertemu dengan istriku di kantin Rumah Sakit. Menerangkan semua usahamu yang kemudian kamu sebut sebagai perjuangan itu. Wajah istriku tampak padam, ketika aku bercerita baris demi baris isi berkasmu. " Man, mestinya kamu terus terang padanya. Aku saat ini sedang hamil dan kamu tidak perlu mengambil resiko itu." desak istriku.

" Aku tidak tega menolaknya, tetapi aku juga tidak berani mengambil resiko besar. Hidupnya telah dikorbankan untuk ini. Dia tidak menikah, tidak pula bekerja layaknya Insinyur lainnya. Bagaimana mungkin aku tega mematikan satu-satunya api penghangat tubuhnya?"

Istriku pun menggelengkan kepala. " Biarkan Man!" dia menangis. " Aku hanya ingin membesarkan anak kita bersama-sama denganmu."

Mulutku tiba-tiba terasa pahit. Tenggorokanku terasa kering dan air mataku terasa memenuhi rongga mataku. " Jika itu maumu, aku akan sampaikan ini pada Bahrul." Aku tinggalkan istriku untuk datang ke warung kopi menemuimu.

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun