Mohon tunggu...
Benny Hendrawan La Semba
Benny Hendrawan La Semba Mohon Tunggu... Psikolog - Psychologist and OD Specialist

Pengamat Sosial dan Perilaku

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Pengalaman Menembus Awan Cumulonimbus

28 Februari 2015   00:34 Diperbarui: 29 Desember 2015   16:22 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Benny Hendrawan

Berada di pesawat yang tengah terjebak dalam awan Cumulonimbus, sungguh sebuah pengalaman yang sangat mengerikan. Sungguh, aku bisa merasakan apa yang kemarin dirasakan oleh para penumpang pesawat Airbus A320-200 milik Air Asia. Hanya bedanya, Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk "hidup" hingga hari ini. Sedangkan penumpang pesawat Air Asia itu, hingga kini (mungkin) masih berjuang antara hidup dan mati.

Pengalaman menembus awan besar yang hitam nan legam itu, pernah kualami 7 Desember lalu. Saat itu, pesawat Citylink jenis Airbus A320-200 yang kutumpangi, take off dari bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta menuju Bandara Sultan Mahmud Baddarudin II (SMB II) Palembang sekitar pukul 20.00 WIB (mundur 3 jam dari jadwal semula, pukul 17.05 WIB). Saat take off, laju pesawat dalam kondisi normal dan mulus. Namun saat akan memasuki wilayah Kota Palembang, dilaporkan bahwa kondisi cuaca di sekitar SMB II dalam keadaan buruk sehingga pesawat tidak diijinkan untuk mendarat.

Dari ruang kokpit, pilot mengumumkan bahwa pesawat akan menunggu cuaca membaik dengan cara berputar-putar selama kurang lebih 10 menit di atas Kota Palembang dan di sekitar Selat Bangka. Jika selama 10 menit tersebut cuaca tidak membaik, maka pesawat akan di-divert ke Bandara Hang Nadim Batam.

Mendengar pengumuman itu, rasa khawatirku mulai membuncah. Apalagi --sebagai orang yang suka duduk di kursi dekat jendela (kursi A/F) -- aku menyaksikan dari dekat adanya gumpalan awan yang sangat besar bak cendawan raksasa memayungi kota Palembang. Di sekitar awan itu, kulihat kilauan petir saling sambar-menyambar dan terlihat begitu dekat dengan badan pesawat. Kulihat juga lampu navigasi di sayap pesawat nampak mulai berbinar-binar dengan cepat.

Setelah pesawat berputar-putar hampir 10 menit di atas Selat Bangka, (entah mengapa) tiba-tiba pesawat memasuki awan hitam tersebut. Aku tercekat..! Apalagi saat itu aku tak lagi bisa melihat sayap pesawat dan sinar lampu navigasi yang memancar di ujung sayap. Semua pemandangan di luar nampak tertutup rapat oleh tabir awan hitam nan gelap. Hatikupun berkecamuk serasa ingin berontak.

Tiba-tiba, "kraaaakk....!!" terdengar ruang kabin pesawat bergesek keras saat pesawat mulai mengalami turbulensi hebat. Semua penumpang menjerit. Beberapa anak balita terdengar menangis dengan suara-suara yang menyayat hati. Sekian detik kemudian, pesawat mendadak "terhempas" ke bawah seakan kehilangan tenaga, lalu terlempar ke atas, bergeser ke kiri, terhempas lagi ke bawah......., dan terdorong lagi ke atas, bergeser ke kanan, terhempas lagi, terdorong lagi hingga berkali-kali. Kaki ini, serasa tak mampu lagi menjejak di atas lantai pesawat. Kaki-kaki ini serasa menggantung, antara hidup dan mati. Dadaku berdetak kencang dan punggungku terasa sakit hingga ke dasar tulang. Suasana kabin pesawat yang gelap (karena lampu dimatikan) terasa begitu mencekam. Semua pasrah, semua berdoa, semua meminta, dan semua menghiba kepada Allah.......

Saat itu, wajah istri dan anak-anakku tiba-tiba saja melintas di pikiranku. Siapa yang akan menghidupi mereka jika malam ini hidupku harus berakhir di atas ketinggian yang sunyi dan gelap gulita ini? "Ya Allah, tolong berikan aku kehidupan yang kedua. Ijinkan aku meraih cita-citaku. Ijinkan aku menyelesaikan studiku. Ijinkan aku menyelesaikan tanggungjawabku atas pendidikan anak-anakku. Ijinkan aku untuk menjadi hambamu yang lebih baik...," bisikku lirih.

Hatiku mulai menangis, namun pesawat ini terus berguncang dan berguncang. Kucoba memandang keluar dengan menempelkan wajahku ke kaca jendela, sekedar memastikan kondisi cuaca diluar sana, namun yang kulihat hanyalah tabir hitam pekat yang menggidikkan bulu roma. Tak kan ada harapan lagi, pikirku dalam hati. Inilah saatnya ajal menjemputku. Kucoba menenangkan hati sambil meneruskan zikirku yang sempat terhenti. Lalu, ku lafadzkan dalam hati dua kalimah syahadat dan sholawat nabi. Harapanku hanya satu, aku ingin menemui ajalku dalam keadaan khusnul khotimah.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba engine pesawat mengeluarkan suara keras dan laju pesawat terasa menggeliat, melambung tinggi, menukik, dan menerobos gumpalan awan itu dengan cepat. Pesawat terus melaju, bergetar, cepat sekali, sungguh cepat, seakan ada yang mengejar. Tak lama, pesawat sudah berada di atas ketinggian dan menjauh dari kumpulan awan. Saat itu pesawat mulai terasa stabil dan dengan cepat meninggalkan Kota Palembang menuju Bandara Hang Nadim di kota Batam.

Lepas dari insiden mengerikan itu, hatiku lega meskipun rasa was-was itu tetap membuncah, karena perjalanan masih sangat panjang. Namun Alhamdulillah, setelah 4 jam menunggu di Hang Nadim, pesawat kembali menuju Palembang dan tepat pukul 02.00 dinihari, pesawat berhasil mendarat dengan selamat di kota kelahiran. Tanda-tanda telah terjadi hujan lebat dengan tiupan angin yang kuat, tampak masih tersisa di landasan pacu bandara SMB II. Genangan air dan cabang-cabang pohon yang patah di sekitar bandara, nampak terlihat dengan kasat mata. Aku sungguh bersyukur, malam itu aku masih diberikan kesempatan kedua untuk tetap hidup dan menjejakkan kembali kakiku ke atas tanah. Subhanallah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun