Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pulih Bersama: Saatnya Peduli Kesehatan Mental Tanpa Stigma

10 Oktober 2025   09:05 Diperbarui: 10 Oktober 2025   09:03 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (World Mental Health Day). Tahun ini sebagaiman dilansir pada situs WHO, tema yang diusung terasa begitu dekat dengan kehidupan kita: "Mental health in humanitarian emergencies." Tema ini tidak sekadar slogan, melainkan seruan kemanusiaan agar masyarakat berhenti menutup mata terhadap kenyataan bahwa kesehatan mental merupakan bagian tak terpisahkan dari kesejahteraan hidup manusia.

Di tengah dunia yang semakin cepat, penuh tekanan, dan sarat kompetisi, banyak dari kita tanpa sadar membawa beban psikis di balik kesibukan harian. Kita tersenyum di ruang kerja, tertawa di media sosial, namun menyimpan kegelisahan yang dalam di dalam hati. Ironisnya, ketika tubuh sakit kita tahu ke mana harus pergi, tetapi ketika jiwa terluka, banyak di antara kita justru memilih diam---takut dihakimi, takut dianggap lemah.

Kesehatan Mental: Masalah Nyata, Bukan Sekadar Perasaan

Banyak orang masih menganggap gangguan kejiwaan sebagai hal memalukan atau aib keluarga. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menegaskan bahwa kesehatan mental merupakan bagian integral dari kesehatan secara menyeluruh---yakni kondisi sehat fisik, mental, dan sosial, bukan sekadar bebas dari penyakit (WHO, World Mental Health Report, 2023).

Faktanya, lebih dari satu miliar orang di dunia hidup dengan kondisi kesehatan mental, dan hampir 800 ribu jiwa meninggal setiap tahun akibat bunuh diri (WHO, 2024). Angka ini menjadikan bunuh diri sebagai penyebab kematian ketiga terbesar di kalangan usia muda 15--29 tahun.

Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) menunjukkan 6,1 persen penduduk mengalami gangguan mental emosional, sementara studi lanjutan (Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health, 2023) memperkirakan prevalensi gangguan mental meningkat hingga 20 persen dari populasi pascapandemi. Ironisnya, diperkirakan sekitar 9 persen penderita yang mendapatkan layanan psikologis atau psikiatris secara memadai (Suryani et al., 2023).

Angka-angka ini menegaskan bahwa isu kesehatan mental bukanlah urusan pribadi, melainkan tantangan sosial dan kebijakan publik.

Pandemi dan Luka Kolektif yang Tak Terlihat

Pandemi COVID-19 telah meninggalkan luka panjang bagi banyak orang. Bukan hanya karena kehilangan pekerjaan atau orang terkasih, tetapi juga karena rasa takut dan keterasingan yang memicu krisis psikologis global. WHO menyebut fenomena ini sebagai "silent pandemic"---pandemi dalam diam yang merusak ketahanan jiwa masyarakat.

Bagi sebagian orang, masa pandemi menjadi titik balik kesadaran. Komunitas mulai membuka ruang berbagi, lembaga pendidikan menghadirkan counseling room, dan kampanye publik tentang kesehatan jiwa bermunculan. Namun, ketika keadaan berangsur pulih, kesadaran itu kerap memudar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun