Nama Suzzanna Martha Frederika van Osch bukan sekadar nama di dunia hiburan; ia adalah ikon yang mewakili bab penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Sejak 1970-an, perempuan berdarah campuran Belanda-Jawa ini menjelma menjadi figur yang menyatukan keindahan dan kengerian dalam satu tubuh seni. Ia bukan hanya aktris, tetapi simbol ketakutan kolektif bangsa.
Kini, setelah lebih dari 15 tahun kepergiannya, Suzzanna kembali “hidup” melalui dokumenter berjudul Suzzanna: The Queen of Black Magic (2024) karya sutradara David Gregory dan Co produser Ekky Imanjaya. Film ini bukan sekadar biografi, melainkan riset budaya tentang bagaimana horor lokal menjadi cermin identitas nasional.
Melalui dokumenter ini, publik seolah diajak menelusuri kembali aroma dupa, kabut kuburan, dan keheningan malam yang dulu mewarnai layar perak bioskop-bioskop tanah air.
Jejak Awal Sang Aktris
Suzzanna lahir di Bogor, 13 Oktober 1942. Ia memulai karier akting di usia muda lewat film Asrama Dara (1958) garapan Usmar Ismail, pelopor perfilman nasional. Bakatnya langsung mencuri perhatian hingga meraih Best Child Actress pada Asian Film Festival di Tokyo tahun 1960 — sebuah prestasi yang mengukuhkan langkah awalnya di dunia sinema.
Namun, kejayaan sejatinya hadir lewat genre yang tak banyak disentuh aktris lain: horor mistis. Seiring meningkatnya popularitas film supranatural di Indonesia pada era 1970-an hingga 1980-an, nama Suzzanna melesat menjadi ikon utama.
Ketika Horor Menjadi Bahasa Budaya
Film-film seperti Beranak dalam Kubur (1972), Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), dan Malam Satu Suro (1988) menegaskan dominasinya. Menurut catatan Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta, Suzzanna membintangi sekitar 42 film klasik lintas genre, dengan sebagian besar berakar pada mitologi lokal dan spiritualitas rakyat.
Peran-perannya bukan hanya menghadirkan ketakutan, melainkan juga memancarkan makna sosial. Ia sering memerankan perempuan yang disakiti, kemudian bangkit sebagai roh penuntut keadilan. Dalam konteks sosial, karakter semacam itu menjadi metafora bagi perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan — pesan yang relevan di tengah kuatnya norma patriarki masa Orde Baru.
Film horor di tangan Suzzanna bukan sekadar tontonan mistis, melainkan seni perlawanan yang terselubung.