Di balik sebatang rokok yang dinyalakan setiap detik, terselip ironi: satu sisi menjadi candu yang menenangkan, di sisi lain menyalakan bara masalah ekonomi dan kesehatan nasional. Data Kementerian Keuangan mencatat, potensi kehilangan penerimaan negara akibat peredaran rokok ilegal bisa mencapai puluhan triliun rupiah per tahun . Angka itu bukan sekadar statistik; ia adalah potret kebocoran fiskal yang ikut membebani pembiayaan kesehatan publik.
Di sisi lain, BPJS Kesehatan kian terbebani oleh penyakit tidak menular akibat konsumsi rokok, seperti kanker paru-paru, jantung, dan stroke. BPJS menanggung sebagian besar klaim penyakit akibat rokok, dalam kisaran Rp 10--15 triliun per tahun  mendominasi klaim penyakit katastropik nasional. Ironisnya, sebagian rokok yang menjadi pemicu justru beredar tanpa membayar cukai---tanpa kontribusi apa pun terhadap kas negara.
Rokok Ilegal: Dijual Bak Kacang Rebus, Laris di Pasaran
Fenomena rokok ilegal kini seperti "kacang rebus" di pasar tradisional---murah, mudah didapat, dan diminati masyarakat kecil. Kumparan News dalam artikel "Rokok Ilegal: Dijual Bak Kacang Rebus dan Laris di Pasaran" (6 Oktober 2025) menemukan bahwa banyak penjual bebas menjajakan rokok tanpa pita cukai di warung dan kios kecil. Harganya sangat miring, mulai dari Rp7.000--Rp10.000 per bungkus, jauh di bawah harga resmi.
Murahnya harga itu menjadi daya tarik utama, terutama di kalangan pekerja informal dan masyarakat berpenghasilan rendah. Namun di balik "murah" itu, negara kehilangan sumber pendapatan, industri resmi tertekan, dan masyarakat tetap terjebak dalam lingkaran konsumsi berisiko. Rokok ilegal bukan hanya persoalan ekonomi gelap, melainkan ancaman nyata bagi kebijakan fiskal dan kesehatan publik.
Siasat Negara Memerangi Rokok Ilegal
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tak tinggal diam. Dalam Kumparan News berjudul "Siasat Perangi Rokok Ilegal yang Merajalela" (6 Oktober 2025), pemerintah mengintensifkan Operasi Gempur Rokok Ilegal di berbagai daerah, termasuk di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Tahun 2023 saja, terdapat lebih dari 5.000 kasus pelanggaran cukai dengan barang bukti puluhan juta batang rokok tanpa pita cukai.
Bea Cukai juga menggandeng pemerintah daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk meningkatkan edukasi masyarakat dan menertibkan peredaran ilegal. Namun, efektivitas kebijakan ini kerap terbentur realitas di lapangan: permintaan tetap tinggi, aparat terbatas, dan pelaku terus beradaptasi dengan pola distribusi baru---dari penjualan online hingga sistem titip jual di warung kecil.