Tanpa langkah-langkah tersebut, AI hanya akan menjadi "mainan mahal" bagi kelas menengah ke atas, sementara mayoritas masyarakat hanya menjadi penonton.
Solusi atau Beban?
Kembali ke pertanyaan awal: apakah langganan AI adalah solusi produktivitas atau justru beban baru dompet digital? Jawabannya tergantung pada sudut pandang.
-
Bagi kalangan profesional, AI adalah investasi. Rp 300 ribu per bulan bisa digantikan dengan efisiensi kerja bernilai jutaan rupiah.
Bagi pelajar atau pekerja dengan penghasilan terbatas, biaya langganan justru terasa berat. Alih-alih solusi, AI menjadi pengeluaran baru yang bersaing dengan kebutuhan pokok.
Bagi pemerintah, AI adalah peluang sekaligus tantangan: bagaimana mengatur agar teknologi ini bisa inklusif, adil, dan tidak hanya memperkaya segelintir pihak.
Yang jelas, fenomena AI telah membuka babak baru dalam kehidupan digital masyarakat Indonesia. Persoalannya bukan hanya pada kecanggihan teknologi, tetapi juga bagaimana akses, harga, dan manfaatnya bisa dirasakan secara merata.
Bijak dalam Mengadopsi
AI memang menggoda. Janji produktivitas, efisiensi, dan kreativitas tanpa batas membuat banyak orang tergiur untuk berlangganan. Namun, perlu ada kesadaran bahwa teknologi hanyalah alat. Tanpa pemahaman kritis, AI bisa membuat manusia terjebak pada ketergantungan, bahkan menjadi beban finansial baru.
Karena itu, masyarakat perlu bijak dalam mengadopsi. Tidak semua orang membutuhkan versi premium. Bagi sebagian besar pengguna, versi gratis sudah lebih dari cukup untuk mendukung aktivitas sehari-hari. Sementara itu, mereka yang menjadikannya sebagai bagian dari pekerjaan profesional, tentu bisa menimbang langganan sebagai bentuk investasi.
Akhirnya, yang lebih penting dari sekadar "siapa mampu membayar" adalah siapa yang mampu memanfaatkan AI secara bijak. Sebab, pada akhirnya, produktivitas sejati tidak hanya lahir dari mesin, tetapi dari manusia yang mampu mengelola teknologi dengan kesadaran dan tanggung jawab.