Fenomena ini mirip dengan awal kemunculan layanan streaming musik dan film di Indonesia. Pada awalnya, harga dianggap mahal sehingga masyarakat lebih memilih menggunakan situs ilegal. Baru setelah harga semakin terjangkau dan metode pembayaran makin mudah, adopsi meluas. AI tampaknya akan mengikuti pola yang sama: harga harus realistis agar bisa menjangkau pasar luas.
Kesenjangan Digital dan Aksesibilitas
Pertanyaan penting lainnya adalah soal kesenjangan digital. Jika hanya mereka yang mampu membayar mahal yang bisa mengakses AI tercanggih, bukankah ini akan memperlebar jurang sosial?
Bayangkan dua mahasiswa dengan kemampuan intelektual sama. Yang satu mampu berlangganan AI premium, sementara yang lain hanya mengandalkan versi gratis. Dalam jangka panjang, akses terhadap informasi, literatur, dan kemampuan berpikir analitis akan berbeda. Fenomena ini berpotensi menimbulkan "kelas baru" dalam masyarakat digital: kelas premium yang didukung AI, dan kelas gratisan yang tertinggal.
Kesenjangan ini juga menyentuh dunia usaha. UMKM dengan modal terbatas mungkin kesulitan membayar AI berbayar, sementara perusahaan besar bisa mengoptimalkan AI untuk menekan biaya operasional. Jika tidak ada kebijakan inklusif dari pemerintah, AI bisa menjadi katalis ketidakadilan baru di era digital.
Pemerintah, Regulasi, dan Edukasi Publik
Pemerintah Indonesia sejauh ini masih fokus pada aspek regulasi AI, terutama terkait keamanan data, etika, dan perlindungan konsumen. Namun, ada ruang yang lebih luas yang perlu dijawab: bagaimana menjamin akses inklusif terhadap teknologi ini?
Beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan:
Subsidi akses AI untuk pendidikan -- misalnya universitas dan sekolah mendapat akses AI premium secara gratis atau harga murah.
Kolaborasi dengan startup lokal -- mendorong lahirnya platform AI lokal dengan harga kompetitif.
Literasi digital nasional -- mengajarkan masyarakat cara menggunakan AI secara bijak, agar tidak hanya bergantung penuh pada mesin.