Menjadi aparatur negara bukan hanya soal menjalankan tugas administrasi dan menunaikan kewajiban rutin. Di balik serangkaian angka, laporan, dan kebijakan, tersimpan pula kisah personal yang sering kali tak terlihat. Sebuah perjalanan panjang penuh dinamika, yang kadang terasa sebagai pengorbanan, tetapi pada akhirnya menghadirkan kejutan kecil penuh makna.
Saya masih ingat, 5 Oktober 2000 menjadi hari bersejarah ketika pertama kali dilantik sebagai pegawai di Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan sekarang dipisah menjadi Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). Dunia baru terbentang, dengan segala tantangan sekaligus harapan. Dari titik itulah, perjalanan panjang pengabdian dimulai, berpindah dari satu daerah ke daerah lain, mengikuti alur mutasi yang sudah menjadi bagian dari ritme organisasi.
Jalan Panjang dari Surabaya ke Papua
Tugas pertama membawa saya ke KPKN Surabaya I pada tahun 2000–2001 saat itu mash dalam lingkup Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Baru setahun menyesuaikan diri, panggilan pengabdian mengantar saya ke ujung timur Indonesia, tepatnya KPKN Manokwari dan terjadi reorganisasi pada tahun 2004 berubah nama menjadi KPPN Manokwari dan berada dibawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). Enam tahun di tanah Papua (2001–2006) menjadi pengalaman tak terlupakan. Jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga besar, saya belajar tentang arti kesabaran, ketabahan, dan integritas.
Selepas itu, giliran KPPN Madiun menjadi rumah sementara (2006–2009). Rasanya sedikit lega, bisa kembali ke Jawa setelah bertahun-tahun jauh di timur. Namun, roda mutasi kembali berputar: Surabaya, Jambi, Jakarta, hingga kini di Watampone, Sulawesi Selatan.
Memilih Homebase: Antara Sidoarjo dan Makassar
Dalam perjalanan panjang itu, keputusan penting harus diambil: memilih homebase. Sejak 2004, saya mantap menentukan Makassar sebagai titik pusat keluarga. Pertimbangannya sederhana namun penuh makna: istri saya orang Bugis, dan di saat yang sama, peluang untuk masuk kembali ke Jawa Timur relatif sulit meski saya pernah bertugas di sana.
Pilihan itu terbukti membawa cerita tersendiri. Saat bertugas di KPPN Jambi, saya sempat mengajukan permohonan pindah ke Makassar. Namun, takdir berkata lain. Surat Keputusan Mutasi justru menempatkan saya di Jakarta. Alih-alih kecewa, saya memilih bersyukur. Jakarta memang bukan Makassar, tetapi jaraknya lebih dekat baik ke Sidoarjo, tempat orang tua, maupun ke tanah Bugis yang sudah menjadi bagian hidup saya.
Sebuah Kejutan di saat Promosi Karier
Lalu tibalah sebuah momen yang saya sebut sebagai One in a Million Moment. Setelah melewati sekian lama bertugas jauh dari rumah, promosi justru membawa saya ke tanah yang selama ini menjadi harapan: Sulawesi Selatan.