Beberapa waktu terakhir, pemerintah melalui aparat keamanan kembali menggulirkan wacana mengaktifkan sistem keamanan lingkungan (siskamling). Bagi generasi lama, istilah ini tidak asing. Ia adalah wujud nyata gotong royong menjaga keamanan bersama.Â
Ada jadwal ronda, ada kentongan bambu, ada pos ronda yang tak hanya berfungsi sebagai gardu penjagaan, tetapi juga ruang sosial tempat warga bercengkerama.
Namun, zaman berubah. Kini, pemandangan pos ronda yang ramai setiap malam kian jarang terlihat. Di banyak kompleks perumahan modern, keamanan cukup diserahkan pada satu atau dua satpam yang dibayar hasil urunan warga setiap bulan.Â
Praktis, warga bisa tidur lelap tanpa harus begadang menjaga kampungnya. Lalu, ketika siskamling kembali digalakkan, pertanyaannya: apakah masyarakat kita benar-benar siap menghidupkan lagi tradisi ronda malam?
Dari Kentongan ke CCTV
Sejak Orde Baru, siskamling menjadi salah satu pilar keamanan di tingkat akar rumput. Ia lahir dari kesadaran bahwa polisi tak mungkin menjaga setiap gang dan jalan kecil.Â
Karenanya, masyarakat mengambil peran dengan cara sederhana: ronda malam bergilir, menyalakan obor atau lampu petromaks, memukul kentongan saat ada tanda bahaya.
Kini, wajah keamanan berubah drastis. Kentongan digantikan bel listrik atau alarm digital. Obor diganti CCTV yang dipasang di setiap sudut. Sementara itu, rasa kebersamaan yang dulu tumbuh di pos ronda perlahan terkikis.Â
Keamanan direduksi menjadi "urusan orang lain" yang bisa diserahkan pada jasa profesional, bukan tanggung jawab kolektif.
Ironisnya, modernisasi justru membawa tantangan baru. Kejahatan siber, narkoba yang masuk lewat jalur kampung, hingga konflik sosial di tingkat lokal membutuhkan kewaspadaan yang lebih dari sekadar pagar rumah tinggi atau satpam berseragam. Dalam konteks inilah, siskamling sebetulnya masih relevan, meski perlu penyesuaian zaman.