Menembus jurnal internasional bereputasi sering kali dianggap sebagai puncak pencapaian seorang akademisi. Tidak hanya karena bobot ilmiahnya, tetapi juga karena reputasi yang melekat pada nama penulis dan institusi. Di balik itu, ada proses panjang, penuh dinamika, dan menuntut kedisiplinan tinggi. Bagaimana caranya agar naskah kita bisa diterima di jurnal bereputasi dengan mengedepankan empat indikator utama, yaitu : orisinalitas, kebaruan, bebas plagiarisme, dan penyajian yang baik.
Tulisan ini tidak sekadar panduan teknis, melainkan refleksi nyata ketika berjuang menembus dinding tinggi publikasi internasional.
Orisinalitas: Titik Awal Perjalanan
Sebuah naskah riset akan kehilangan nilainya jika tidak memiliki orisinalitas. Inilah fondasi pertama. Pertanyaannya sederhana, tetapi tajam: apa yang berbeda dari tulisan ini dibanding ribuan artikel serupa di pangkalan data Scopus atau Web of Science?
Dalam pengalaman saya, menemukan orisinalitas tidak datang secara instan. Ia hadir melalui proses membaca puluhan bahkan ratusan artikel terdahulu, mengamati celah, lalu memformulasikan pertanyaan riset yang benar-benar baru. Orisinalitas bukan hanya soal data yang segar, melainkan juga sudut pandang yang unik.
Dosen pembimbing Program Magister saya di Universitas Terbuka pernah berpesan, “Kalau ide kita bisa dijelaskan hanya dalam satu kalimat sederhana, berarti memang itu orisinal.” Saya akhirnya memahami: orisinalitas itu jelas, singkat, dan tegas.
Kebaruan: Menawarkan Sesuatu yang Belum Pernah Ada
Indikator kedua adalah kebaruan (novelty). Banyak peneliti terjebak pada pengulangan—memoles teori lama dengan sedikit modifikasi—namun lupa memberi kontribusi baru. Kebaruan bisa muncul dari beberapa cara: menemukan data baru, menggunakan metodologi yang lebih mutakhir, atau menghubungkan teori lama dengan konteks baru.
Dalam salah satu riset yang pernah saya lakukan, kebaruan justru muncul ketika menghubungkan teori yang digunakan dengan best practice yang jarang disentuh. Persinggungan dua ranah inilah yang membuat naskah saya dilirik editor.
Dengan kata lain, kebaruan tidak selalu harus berupa temuan spektakuler. Kadang, cukup dengan menawarkan perspektif segar yang menantang cara pandang lama.