Ada sesuatu yang berbeda di Istana Merdeka pada peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia tahun ini. Ketika pasukan pengibar bendera telah menunaikan tugasnya, dan Sang Saka Merah Putih berkibar gagah di langit Jakarta, suara yang menggema bukan sekadar lagu wajib nasional, tetapi juga karya seorang seniman legendaris: Gombloh. Karyanya yang berjudul “Kebyar-Kebyar” kembali berkumandang, menyulut rasa kebangsaan yang membuncah di dada setiap orang yang hadir.
Gombloh, atau Soedjarwoto Soemarsono, mungkin telah tiada secara ragawi sejak 1988. Namun, ia sejatinya tidak pernah mati. Karyanya abadi, bahkan melintasi generasi, melampaui ruang, waktu, dan perubahan selera musik. Lagu-lagu ciptaannya terus hidup di hati rakyat Indonesia, seakan menjadi "lagu kebangsaan kedua" yang mempersatukan bangsa di setiap momentum bersejarah.
Seniman Jalanan yang Menjadi Ikon Nasional
Gombloh bukanlah musisi yang dibesarkan oleh industri hiburan glamor. Ia berangkat dari jalanan, dari ruang-ruang sederhana tempat rakyat jelata berkumpul. Ia merekam suara rakyat, jerit kehidupan, hingga semangat kebangsaan, lalu mengolahnya menjadi karya musik yang penuh energi.
“Kebyar-Kebyar” adalah salah satu contoh paling nyata. Bukan hanya sekadar lagu pop, tetapi sebuah himne perjuangan yang sarat makna simbolik. Liriknya singkat, sederhana, tetapi mengandung energi patriotik yang dahsyat. Tak heran bila lagu ini kemudian diputar dalam upacara-upacara resmi kenegaraan, termasuk HUT RI di Istana Merdeka.
Gombloh membuktikan bahwa musik bukan sekadar hiburan. Musik adalah bahasa universal yang mampu menyatukan perbedaan, menggerakkan massa, bahkan membangun rasa cinta tanah air. Ia adalah bukti nyata bahwa seorang seniman bisa berperan sebagai pejuang, meski bukan dengan senjata, melainkan dengan nada dan kata.
Karya yang Tak Lekang oleh Zaman
Lebih dari tiga dekade sejak kepergiannya, lagu-lagu Gombloh tetap relevan. Bukan hanya “Kebyar-Kebyar”, tetapi juga “Untukmu Negeri”, "Merah Putih", “Berita Cuaca”, hingga “Lepen”, masih akrab di telinga masyarakat. Lagu-lagunya melintasi generasi: dinyanyikan oleh anak-anak sekolah, diputar di televisi, hingga diaransemen ulang oleh musisi kontemporer.
Di tengah era digital yang sarat musik instan, karya Gombloh tetap menemukan tempatnya. Lagu-lagunya tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik, mengingatkan rakyat Indonesia tentang jati diri kebangsaan. Itulah yang membedakan Gombloh dari musisi-musisi kebanyakan: karyanya tidak pernah usang.
Gombloh dan Identitas Kebangsaan
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai senimannya. Melalui Gombloh, kita belajar bahwa identitas kebangsaan tidak hanya dibangun oleh politik dan sejarah, tetapi juga oleh seni dan budaya. Lagu-lagu Gombloh telah menjadi bagian dari narasi kolektif bangsa Indonesia—sebuah warisan budaya yang tak ternilai.
Mengabadikan karya Gombloh sebagai lagu nasional bukan sekadar penghormatan pada sosoknya, tetapi juga pengakuan bahwa seni adalah bagian integral dari perjuangan bangsa. Ia telah menulis sejarah bukan dengan tinta, tetapi dengan nada yang terus menggema.
Warisan Abadi Seorang Seniman Rakyat
Di usianya yang ke-80 tahun, Republik Indonesia semakin matang. Namun, di balik upacara megah di Istana Merdeka, ada satu hal yang selalu menggetarkan: suara Gombloh yang menyatu dengan jiwa bangsa. Karyanya telah menjelma menjadi energi kolektif yang menjaga bara nasionalisme tetap menyala.
Gombloh memang telah tiada, tetapi ia sejatinya hadir di setiap pekik "Merdeka!", di setiap kibaran Merah Putih, dan di setiap nada “Kebyar-Kebyar” yang terus berkumandang. Selama bangsa ini ada, selama bendera ini berkibar, Gombloh akan tetap hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI