NJOP vs tarif. Di banyak kasus, lonjakan PBB bukan karena tarif melampaui batas hukum, melainkan revaluasi NJOP yang melonjak tajam sehingga basis pengenaan pajak membengkak. Penjelasan yang jernih tentang perbedaan keduanya amat menentukan penerimaan warga.Â
Batas tarif. Berdasarkan UU HKPD, tarif maksimum PBB-P2 adalah 0,5%. Artinya, ruang kebijakan ada, tetapi tetap berpagar. Transparansi soal besaran tarif aktual di daerah---apakah 0,1%, 0,2%, atau mendekati 0,5%---perlu dibuka agar publik bisa mengaudit rasa keadilannya. (Ortax)
Tahapan dan sosialisasi. Kenaikan bertahap (multi-years) dengan simulasi dampak per kelompok wajib pajak jauh lebih dapat diterima ketimbang lompatan sekaligus. Minimnya kanal dialog sering menjadi bensin di atas bara.
Jalan Tengah: Kebijakan Berbasis Data, Perlindungan yang Tepat
Momentum HUT RI ke-80 layak kita jaga dari polarisasi "pro PAD" versus "pro rakyat". Keduanya bukan pilihan biner. Pemerintah daerah bisa meracik kebijakan yang berbasis data sekaligus berwawasan perlindungan, antara lain:
Tahapan kenaikan NJOP/PBB-P2 dengan plafon persentase per tahun (misal, cap 20--25% per objek per tahun), dievaluasi tahunan.
Pengecualian/kompensasi bagi kelompok rentan: pensiunan, veteran, keluarga prasejahtera, difabel, serta lahan pangan (yang memang secara aturan dapat diberi tarif lebih rendah). (Ortax)
Skema pengurangan administratif (keringanan/denda dihapus) untuk tahun transisi.
Transparansi digital: kalkulator PBB daring yang menampilkan komponen perhitungan (NJOP lama/baru, tarif, klasifikasi objek) agar wajib pajak dapat memverifikasi tagihan.
Forum konsultasi publik sebelum perda/perkada ditetapkan; ringkasan Regulatory Impact Assessment dipublikasikan dalam bahasa yang mudah dipahami.
Refleksi 17 Agustus: Merdeka dari Kebijakan yang Membebani