Menjelang puncak peringatan 17 Agustus 2025---delapan dekade Indonesia merdeka---warna merah-putih menguasai ruang publik. Namun, di sejumlah daerah, gegap gempita perayaan bersisian dengan pengeras suara demonstrasi. Warga turun ke jalan memprotes lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dinilai mendadak dan memberatkan.
Di Pati, Jawa Tengah, kebijakan kenaikan PBB hingga 250 persen memantik aksi massa besar pada pekan ini. Setelah gelombang protes dan atensi nasional, Bupati akhirnya mencabut kebijakan tersebut dan menyampaikan permintaan maaf. Namun, desakan publik agar kebijakan perpajakan lebih hati-hati tak serta-merta surut. Kasus Pati menegaskan: komunikasi kebijakan fiskal yang lemah bisa berbiaya sosial tinggi.Â
Fenomena serupa juga muncul di daerah lain. Di Bone, Sulawesi Selatan, demonstrasi menolak kenaikan PBB berujung ricuh karena kepala daerah tak menemui massa. Sementara itu, Kota Cirebon menjadi sorotan karena keluhan warga atas tagihan yang melonjak---sebagian mengklaim hingga kisaran ratusan hingga seribu persen, yang oleh pemerintah daerah dikaitkan dengan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Di Kabupaten Semarang, kebijakan kenaikan---yang dalam sejumlah objek dinilai publik dapat mencapai ratusan persen---akhirnya dibatalkan mengikuti arahan Kementerian Dalam Negeri.Â
Antara Kebutuhan PAD dan Rasa Keadilan Publik
PBB-P2 adalah sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kewenangannya dipayungi UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Di dalam kerangka itu, daerah berwenang menetapkan tarif (hingga batas maksimum) dan menyesuaikan NJOP agar mendekati nilai pasar. Namun, mandat kewenangan tidak berarti kebijakan boleh melompat tanpa ukur rasa. Dalam praktik, lompatan NJOP yang agresif akan langsung menetes menjadi kenaikan beban PBB di lembar SPPT rumah tangga.
Kenaikan memang bisa dibenarkan sebagai koreksi setelah bertahun-tahun NJOP tertinggal. Tetapi, dari sudut pandang prinsip pajak yang baik---adil, pasti, nyaman dibayar, dan efisien---kenaikan drastis dalam waktu singkat berpotensi melanggar setidaknya dua di antaranya: keadilan dan kenyamanan. Dampaknya pun nyata: kecemasan gagal bayar, hilangnya rasa aman atas aset keluarga, hingga tergerusnya daya beli karena rumah tangga memindahkan dana kebutuhan pokok untuk melunasi pajak. Suara publik hari-hari ini merekam itu, dari Pati, Jombang, Cirebon, Bone hingga sejumlah kota lain.
Intervensi Kebijakan Pusat: Menarik Rem Darurat
Menyadari eskalasi gejolak, Menteri Dalam Negeri pada 14 Agustus 2025 menerbitkan Surat Edaran Nomor 900.1.13.1/4528/SJ yang pada intinya meminta kepala daerah menunda/menyesuaikan kebijakan pajak dan retribusi yang memberatkan masyarakat. Respons daerah cukup cepat: Kabupaten Semarang mengumumkan pembatalan kenaikan NJOP dan PBB-P2 tahun berjalan mengacu pada surat edaran tersebut. SE ini bukan meniadakan kewenangan daerah, melainkan mengingatkan asas kepatutan, kapasitas bayar, dan stabilitas sosial---terutama pada momen ekonomi yang rapuh.Â
Mengurai Akar Masalah: NJOP, Tarif, dan Sosialisasi
Ada tiga simpul yang kerap luput dijelaskan ke publik: