Budaya Organisasi: Mengurai Stigma Antargenerasi dari Perspektif Change Management
Di tengah gempuran perubahan teknologi, dinamika kerja, dan tuntutan pasar, organisasi modern menghadapi tantangan tak kasatmata namun berdampak besar: konflik antargenerasi. Di ruang kerja yang sama, kini berkumpul lima generasi dengan nilai, gaya komunikasi, dan ekspektasi yang sangat berbeda. Ini bukan sekadar perbedaan usia, melainkan pertarungan paradigma kerja yang bila tak dikelola akan melumpuhkan semangat kolektif.
Data LinkedIn Work Change Snapshot edisi Oktober 2024 mengungkap bahwa 64 persen profesional global merasa kewalahan menghadapi perubahan cepat di tempat kerja, dan sekitar 25 persen mengidentifikasi mengelola tim multigenerasi sebagai tantangan paling berat. Di Indonesia, tren ini juga mulai terasa. Dalam sejumlah survei perusahaan konsultan SDM, muncul kecenderungan meningkatnya resistensi di antara generasi senior terhadap praktik kerja generasi muda---mulai dari kerja hybrid, budaya "speak up", hingga gaya kepemimpinan yang lebih kolaboratif.
Stigma pun tumbuh subur. Generasi Z kerap dicap "tidak loyal", "terlalu idealis", atau "tidak tahan banting", sementara generasi lebih tua dinilai "kaku", "kurang fleksibel", dan "enggan berubah". Padahal, di balik label-label itu tersembunyi potensi kolaborasi luar biasa bila dimediasi dengan strategi manajemen perubahan yang tepat.
Konflik yang Terstruktur dalam Budaya
Laporan Society for Human Resource Management (SHRM) mencatat bahwa 67 persen organisasi mengalami konflik antargenerasi secara berkala. Lebih dari 60 persen pekerja menyatakan bahwa komunikasi lintas usia belum efektif, sementara 58 persen konflik muncul akibat perbedaan gaya komunikasi. Ini menunjukkan bahwa persoalan bukan hanya pada perbedaan nilai, tapi juga dalam saluran dan cara penyampaian gagasan.
Yang lebih memprihatinkan, budaya organisasi justru memperkuat polarisasi. Budaya birokratis, hierarkis, atau paternalistik sering kali mengukuhkan dominasi senioritas. Aspirasi generasi muda yang menginginkan transparansi, partisipasi, dan pengakuan---sering kali dianggap mengganggu stabilitas organisasi. Sebaliknya, keengganan generasi tua untuk mendengarkan masukan dianggap menutup ruang inovasi.
Manajemen Perubahan Sebagai Katalis
Di sinilah pentingnya change management. Dalam perspektif ini, organisasi tak cukup hanya mengelola strategi dan struktur, tetapi juga manusia dan nilai. John Kotter, pakar manajemen perubahan, menekankan pentingnya membangun koalisi lintas unit dan generasi sebagai agen perubahan. Perubahan budaya tidak bisa dipaksakan dari atas, tetapi harus tumbuh dari dialog yang dibangun dengan rasa saling percaya.
Manajer lini dan pimpinan departemen harus menjadi penghubung generasi, bukan penghakim. Sayangnya, SHRM Civility Index tahun 2025 mencatat bahwa 66 persen pekerja percaya bahwa manajer belum optimal mencegah incivility atau ketidaksopanan di tempat kerja. Ketika sikap tidak saling menghargai dibiarkan, konflik antargenerasi bisa berkembang menjadi friksi yang mengganggu produktivitas dan retensi karyawan.