Dalam denyut kehidupan bangsa yang bergerak semakin cepat dan digital, nilai-nilai luhur kerap kali terpinggirkan, jika tidak boleh disebut hilang arah. Ironis memang. Di tengah kemajuan teknologi dan pembangunan fisik yang menjulang, kita menyaksikan dekadensi moral yang justru meruyak di ruang publik: ujaran kebencian di media sosial, budaya saling serang dalam diskursus politik, hingga kekerasan yang terjadi di lingkup sekolah dan keluarga.
Di manakah posisi budi pekerti dalam lanskap kebangsaan kita hari ini? Apakah ia masih dianggap penting, atau telah menjadi barang usang yang hanya terpajang di ruang-ruang kelas tanpa makna praktis dalam kehidupan nyata?
Membaca Ulang Arti Budi Pekerti
Dalam khazanah budaya bangsa, budi pekerti bukan sekadar sopan santun. Ia adalah cerminan kepribadian sejati yang menyatukan rasa, karsa, dan cipta dalam tindakan yang penuh pertimbangan moral. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, menekankan pentingnya pendidikan karakter, karena kecerdasan tanpa kepribadian hanyalah kosong belaka. Nilai-nilai seperti jujur, rendah hati, tenggang rasa, gotong royong, dan adab menjadi fondasi dalam membangun peradaban yang berakar pada kearifan lokal.
Namun, dalam era serba instan dan pragmatis seperti sekarang, ajaran budi pekerti kerap kalah pamor dibandingkan dengan keberhasilan materi atau pencapaian popularitas. Nilai menjadi relatif, bahkan sering dikalahkan oleh kepentingan pribadi, kelompok, atau kuasa.
Ketika Krisis Moral Menerpa
Fenomena degradasi moral bukan sekadar asumsi. Laporan Komnas Perlindungan Anak menunjukkan bahwa tindak kekerasan terhadap anak justru banyak dilakukan oleh orang terdekat. Kasus perundungan di sekolah terus meningkat. Bahkan, sejumlah survei nasional menunjukkan rendahnya indeks integritas di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Di sisi lain, beberapa elite politik pun tidak memberi teladan yang baik. Korupsi, manipulasi, dan retorika penuh kebencian menciptakan atmosfer keteladanan yang negatif. Masyarakat pun terbentuk dalam ekosistem yang permisif terhadap pelanggaran nilai, selama menghasilkan keuntungan.
Jika ini terus dibiarkan, kita sedang menggali jurang dalam yang berbahaya: krisis akhlak massal yang dapat merusak fondasi bangsa dalam jangka panjang.
Revitalisasi Pendidikan Karakter