Benteng sebagai Situs Memori Maritim Nusantara
Di balik dinding batu tebal dan lorong-lorong sunyi, Fort Rotterdam menyimpan narasi penting peradaban maritim yang nyaris hilang dari arus utama sejarah Indonesia. Makassar bukan kota biasa. Ia adalah kota pelaut, kota dagang, kota persilangan budaya. Fort Rotterdam menjadi simbol dari kota yang pernah menjadi poros dunia maritim Asia Tenggara.
Sayangnya, pemaknaan terhadap benteng ini masih sangat kolonial-sentris. Banyak pemandu wisata, narasi sejarah, hingga penataan ruang di kompleks benteng lebih menonjolkan “jejak VOC” daripada warisan Gowa atau dinamika perlawanan lokal. Narasi seperti ini justru akan menjauhkan publik dari nilai-nilai kebudayaan lokal yang seharusnya menjadi fondasi identitas.
Sudah saatnya reframing narasi sejarah dilakukan. Pemerintah daerah, sejarawan lokal, dan masyarakat perlu menghidupkan kembali kisah-kisah asli rakyat Makassar, pelaut Bugis, penulis lontara, ulama lokal, dan pejuang tak bernama yang turut membangun benteng ini dengan darah dan harga diri.
Revitalisasi Fort Rotterdam: Antara Wisata Sejarah dan Pendidikan Budaya
Kini, Fort Rotterdam menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Sulawesi Selatan. Dengan fasilitas seperti Museum La Galigo, pengunjung dapat menelusuri artefak kebudayaan Bugis-Makassar, manuskrip kuno, hingga pakaian adat dan peralatan rumah tangga tradisional.
Namun, sekadar menjadi lokasi foto dan turis tak cukup. Fort Rotterdam harus naik kelas menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan sejarah yang aktif. Berbagai program seperti:
Festival sejarah lokal,
Ekspedisi pelaut muda Nusantara,
Workshop penulisan lontara,
Kurikulum sejarah lokal untuk siswa Sulawesi Selatan,