Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Gerai Gadai Menjamur Tiap Kilometer: Cermin Krisis Ekonomi atau Bukti Inklusi Finansial?

16 Juli 2025   10:00 Diperbarui: 15 Juli 2025   14:03 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Maraknya Perusahaan Gadai. Foto: Aurelia Lucretie/kumparan 

Jika Anda berkendara melintasi sudut-sudut kota besar di Indonesia, salah satunya di daerah Jabodetabek, hampir bisa dipastikan Anda akan menemukan satu gerai gadai dalam radius kurang dari satu kilometer. Dalam banyak kasus, bukan hanya satu, tapi bisa dua hingga tiga gerai dalam satu jalan utama.

Fenomena ini mencuat bak jamur di musim hujan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa hingga awal 2025, terdapat lebih dari 197 perusahaan gadai swasta berizin, belum termasuk yang belum berizin dan masih beroperasi secara legal-formal. Di Jabodetabek, menurut survei lapangan Kumparan Bisnis, masyarakat bisa menemukan gerai gadai setiap 730 hingga 900 meter.

Apakah ini menandakan keberhasilan sistem pembiayaan inklusif? Atau justru cermin bahwa masyarakat makin terjepit hingga harus 'menggadai masa depan' demi bertahan hari ini?

Solusi Finansial atau Sinyal Darurat?

Kita patut bertanya, mengapa masyarakat semakin akrab dengan layanan gadai? Jawabannya sederhana: mudah, cepat, dan tanpa syarat rumit. Cukup membawa barang, KTP, dan kadang hanya surat jalan, dalam waktu kurang dari 15 menit uang sudah di tangan. Bandingkan dengan bank konvensional yang membutuhkan banyak dokumen dan proses yang lebih lama bisa beberapa hari.

Namun, kenyamanan itu tidak datang tanpa biaya. Ada beberapa survei yang pernah mencatat terhadap empat gerai gadai swasta menunjukkan bunga awal sebesar 10-11 persen per bulan, belum termasuk potongan biaya administrasi dan asuransi hingga 30-35 persen dari nilai taksir barang. Tak heran, banyak nasabah kehilangan barang hanya karena tidak mampu menebus dalam tenggat waktu.

Fenomena ini mencerminkan paradoks finansial di masyarakat: ketika kebutuhan mendesak tidak bisa ditutupi oleh sistem perbankan formal, masyarakat akan mencari celah di sektor informal---walau dengan ongkos lebih mahal.

Ledakan Gadai: Antara Peluang dan Perangkap

Pertumbuhan gerai gadai didorong oleh regulasi OJK tahun 2016 (POJK No. 31/POJK.05/2016), yang membuka keran bagi pelaku usaha gadai swasta dengan modal awal relatif ringan, yakni hanya Rp500 juta. Sejak itu, usaha gadai menjadi ladang basah di tengah masyarakat yang membutuhkan dana cepat namun sulit menjangkau bank.

Di sisi lain, daya beli masyarakat yang stagnan atau menurun, terutama pascapandemi dan inflasi global, turut menjadi bahan bakar ledakan transaksi gadai. Per Februari 2025, nilai pinjaman melalui sistem gadai mencapai Rp100 triliun, di mana 96 persen masih dikuasai Pegadaian (BUMN), namun pangsa swasta mulai menggerus dengan agresivitas gerai dan promosi bunga rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun