Menjaga yang Dimiliki, Memberdayakan yang Tertinggal
Di tengah deru pembangunan dan ambisi Indonesia menuju negara maju, terselip pertanyaan sederhana namun mendalam: untuk siapa kekayaan negara ini dikelola? Di era ketika transformasi digital dan disrupsi ekonomi menjadi keniscayaan, negara harus berbenah bukan hanya pada aspek regulatif, tetapi juga dalam cara memaknai aset dan kekayaan miliknya sendiri. Barang Milik Negara (BMN), yang selama ini dipandang sebagai sekumpulan aset fisik tak bernyawa, seharusnya menjadi alat pemantik ekonomi rakyat---khususnya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), tulang punggung ekonomi nasional.
Ketika kita bicara soal APBN, publik kerap memusatkan perhatian pada belanja negara dan defisit fiskal. Jarang sekali perbincangan menyentuh bagaimana negara mengelola aset yang telah dibeli dengan uang rakyat. Padahal, sebagaimana pengelolaan keuangan, pengelolaan aset negara juga membutuhkan transparansi, efisiensi, dan keberpihakan terhadap kepentingan publik.
UMKM: Mesin Ekonomi yang Masih Tersendat
Sebagai sektor yang menyumbang lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja, UMKM sering disebut sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Namun realitas di lapangan menunjukkan, sebagian besar UMKM masih menghadapi hambatan struktural: keterbatasan permodalan, minimnya akses pasar, rendahnya adopsi teknologi, hingga ketiadaan ruang usaha.
Di sinilah logika pemberdayaan melalui aset negara menemukan relevansinya. Alih-alih menunggu anggaran baru, negara seharusnya mengoptimalkan apa yang sudah dimiliki. Tanah-tanah negara yang menganggur, bangunan kosong milik kementerian/lembaga, hingga kendaraan dinas tak terpakai bisa menjadi sumber daya nyata bagi penguatan UMKM.
Barang Milik Negara: Dari Neraca Menuju Aksi Nyata
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan telah memulai reformasi pengelolaan BMN melalui pendekatan nilai guna dan nilai manfaat. Tidak lagi sekadar mencatat dan menginventarisasi, tetapi juga memanfaatkan secara aktif dan adaptif. Skema seperti sewa, pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan (KSP), bahkan hibah aset kini menjadi jembatan antara negara dan pelaku usaha kecil.
Sebagai contoh, aset negara di kota-kota besar kini mulai digunakan sebagai galeri UMKM, rumah produksi bersama, bahkan pusat pelatihan bisnis. Di daerah seperti Yogyakarta dan Surabaya, gedung negara bekas kantor dinas digunakan untuk co-working space berbasis komunitas ekonomi kreatif. Ini adalah wajah baru dari APBN: hadir, membumi, dan menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
Mendekatkan Negara kepada Rakyat Melalui Aset