Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Tumbuh Tanpa Ibu atau Ayah: Ketika Duka Membuka Pintu Perundungan

17 Mei 2025   08:05 Diperbarui: 16 Mei 2025   16:30 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak sedang menangis Foto: Shutterstock (kumparan.com)

Ada duka yang diam. Tak bersuara. Tapi menggumpal kuat dalam dada seorang anak. Ia tidak tampak dalam rapor sekolah, tidak juga terucap dalam tawa yang dipaksakan. Duka itu muncul ketika anak harus tumbuh tanpa pelukan ibu atau sapaan ayah. Saat teman-temannya pulang dan bersandar di pangkuan keluarga, ia hanya pulang pada sepi.

Kehilangan orang tua, bagi anak-anak, bukan sekadar kehilangan pengasuh. Ini tentang kehilangan tempat berpulang. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa lagi dijawab, dan rasa bersalah yang sering kali muncul meski tak seharusnya.

Baru-baru ini, studi dari Boston University School of Public Health menguatkan apa yang selama ini hanya dirasakan sebagai naluri: anak-anak yang kehilangan orang tua lebih rentan jadi korban perundungan di sekolah. Studi ini melibatkan lebih dari 21 ribu anak di Tiongkok, dan hasilnya mencemaskan: duka membuka celah bagi kekerasan sosial yang lain—bullying.

Bagi banyak anak, sekolah seharusnya menjadi tempat untuk belajar dan tumbuh. Tapi bagi mereka yang sedang meraba-raba cara berdamai dengan kehilangan, sekolah justru bisa menjadi ruang yang dingin. Ruang yang membuat mereka merasa semakin kecil, semakin sendiri.

Duka yang Tak Selesai di Rumah

Setiap anak berduka dengan caranya masing-masing. Tapi satu hal yang pasti: kehilangan sosok ibu atau ayah mengubah dunia mereka. Tak sedikit anak yang mencoba tegar, hanya karena tak tahu bagaimana cara bersedih dengan benar. Mereka menelan air mata agar dianggap kuat. Tapi, justru di saat itulah, mereka paling rapuh.

Sayangnya, banyak dari kita masih menganggap bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya. Padahal, waktu hanya berjalan. Ia tidak otomatis menyembuhkan jika tidak dibarengi dukungan. Anak-anak yang sedang berduka butuh didengar. Butuh dipeluk—secara harfiah atau lewat empati yang tulus.

Dan ketika dukungan itu tidak datang, perundungan sering kali masuk melalui celah yang terbuka. Anak yang berbeda, anak yang murung, anak yang tidak punya siapa-siapa di rumah—mereka sering menjadi sasaran mudah. Tanpa sadar, luka karena kehilangan malah diperparah oleh luka dari perlakuan teman sebaya.

Generasi Pascapandemi yang Tak Pernah Sama Lagi

Pandemi COVID-19 tak hanya merenggut nyawa, tapi juga merenggut masa depan banyak anak. Diperkirakan ada 8 juta anak di seluruh dunia yang kehilangan orang tua atau pengasuh utama karena pandemi. Di Indonesia, kisah serupa terjadi dalam sunyi. Kita mungkin tak punya angka pasti, tapi kita punya tetangga, saudara, atau teman yang kehilangan.

Generasi ini sedang tumbuh. Tapi mereka tumbuh sambil menanggung kehilangan yang tak semua orang pahami. Mereka datang ke sekolah membawa lebih dari sekadar buku pelajaran—mereka membawa duka yang belum selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun