Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional---sebuah momentum yang lebih dari sekadar seremonial. Di balik gemuruh spanduk dan suara peluit di jalanan, tersimpan harapan, perjuangan, dan identitas kolektif dari jutaan pekerja yang menjadi tulang punggung pembangunan. Di Indonesia, Hari Buruh bukan hanya milik mereka yang berseragam di pabrik atau berdiri di jalur produksi. Ini adalah hari untuk mengingat bahwa tanpa kerja keras buruh, mesin negara ini tak akan pernah berjalan.
Namun, sudahkah kita benar-benar mendengar suara mereka?
Buruh dalam Bayangan dan Kenyataan
Kita hidup di tengah ironi. Di satu sisi, buruh sering dipuja sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Di sisi lain, realitas mereka masih dipenuhi tantangan klasik: upah minimum yang kerap tak sebanding dengan kebutuhan hidup layak, status kerja yang rentan, hingga perlindungan sosial yang belum merata. Dalam pusaran ekonomi digital, sebagian buruh bahkan mengalami bentuk eksploitasi baru: kerja fleksibel dengan keamanan kerja yang nyaris nihil.
Peringatan Hari Buruh seharusnya menjadi pengingat bahwa kerja tidak hanya soal produktivitas, tapi juga martabat.
Lebih dari Sekadar Demo
Bagi sebagian masyarakat, Hari Buruh kerap diidentikkan dengan demonstrasi besar-besaran yang membuat macet jalanan. Namun esensi sesungguhnya bukan soal turun ke jalan, melainkan menuntut keadilan yang belum tuntas dan ruang dialog yang setara antara pekerja, pengusaha, dan negara. Tuntutan buruh bukanlah bentuk perlawanan, melainkan panggilan untuk memperbaiki sistem agar lebih adil dan manusiawi.
Apakah negara sudah cukup hadir sebagai penengah?
Buruh dan Masa Depan Ekonomi
Dalam kerangka besar pembangunan, buruh bukan sekadar angka statistik dalam laporan ketenagakerjaan. Mereka adalah human capital yang menentukan arah dan daya saing bangsa. Indonesia yang sedang mengincar bonus demografi tak akan mampu mewujudkan visi emas 2045 tanpa memastikan kualitas hidup dan jaminan kesejahteraan para buruh hari ini.
Pendidikan vokasi, pelatihan ulang, hingga akses pada teknologi dan keuangan adalah investasi terbaik yang bisa diberikan negara kepada buruh. Sebab, ketika buruh naik kelas, ekonomi bangsa ikut terangkat.
Memanusiakan yang Memanusiakan
Seyogyanya, Hari Buruh Internasional menjadi titik tolak bukan hanya bagi kebijakan ketenagakerjaan, tetapi juga bagi kesadaran kolektif kita sebagai masyarakat. Bahwa di balik layanan publik, produk konsumsi, dan infrastruktur megah, ada peluh buruh yang sering tak terlihat.
Mereka tidak hanya bekerja dengan tangan, tapi dengan hati, dengan kesetiaan, dan dengan pengorbanan. Sudah saatnya kita tidak memandang mereka sebagai "tenaga kerja murah", tapi sebagai manusia yang patut dimuliakan.
Dari Simbol ke Substansi
Peringatan Hari Buruh seharusnya tak berhenti pada simbol. Pemerintah harus menjadikannya momen untuk mengevaluasi kebijakan, dunia usaha harus memperkuat komitmen terhadap kesejahteraan pekerja, dan masyarakat luas perlu membangun empati yang lebih dalam.
Karena pada akhirnya, buruh bukan hanya tulang punggung, tapi jantung yang memompa kehidupan ekonomi bangsa. Mengabaikan mereka, sama saja dengan melemahkan nadi kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI