Bayangkan, seorang anak muda datang ke ruang ujian mengenakan kacamata modis dan senyum percaya diri. Tak ada yang mencurigai bahwa di balik bingkai kacamatanya tersembunyi kamera mini yang menghubungkannya ke jaringan kecurangan nasional. Ia bukan sekadar peserta UTBK-SNBT 2025, tapi bagian dari operasi terorganisir yang merusak fondasi keadilan dalam dunia pendidikan.
Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi saksi bagaimana seleksi nasional masuk perguruan tinggi yang seharusnya menjadi ajang kompetisi jujur, ternoda oleh 7 orang peserta curang. Modus mereka bukan lagi catatan kecil di tangan atau bisikan samar. Mereka datang membawa teknologi canggih: kamera tersembunyi di kacamata, behel, bahkan kancing baju---semua alat bantu komunikasi dengan joki di luar ruang ujian.
Rektor USU, Muryanto Amin, dalam keterangannya pada 29 April 2025 mengungkap bahwa para joki tersebut memalsukan identitas peserta, datang dari luar daerah, dan menyelinap masuk ke sistem ujian resmi dengan alat-alat yang bahkan luput dari deteksi metal detector. Perangkat teknologi yang dirancang untuk mengelabui pengawasan, dipadukan dengan keberanian menabrak etika.
Apa yang terjadi di USU bukanlah kasus tunggal. Lokasi lain juga menjadi arena kecurangan, meski belum disebutkan rinciannya. Fakta bahwa sistem seleksi nasional masih bisa ditembus oleh teknologi tersembunyi seharusnya membuat panitia nasional merasa terdesak untuk segera melakukan evaluasi mendalam.
Ada ironi yang mencolok di sini: semakin canggih sistem seleksi, semakin canggih pula modus kecurangan. Namun, pertanyaannya bukan lagi "bagaimana mereka bisa curang?", melainkan "mengapa mereka merasa perlu curang?"
Tekanan sosial, kompetisi ketat, dan glorifikasi status "mahasiswa PTN" kerap menciptakan iklim kompetitif yang menghalalkan segala cara. Ketika proses seleksi tidak hanya menjadi pertaruhan masa depan, tetapi juga gengsi keluarga, banyak peserta (dan orang tua mereka) bersedia membayar mahal demi lolos.
Tetapi bukankah ini berisiko membentuk generasi yang sejak awal terbiasa menyimpang dari nilai integritas?
Kecurangan dalam seleksi masuk PTN bukan hanya persoalan individu. Ia mencerminkan kelemahan sistem, celah dalam pengawasan, dan---paling menyedihkan---kerapuhan karakter calon-calon intelektual bangsa.
Apa yang seharusnya dilakukan?
Pertama, sistem pengawasan harus melampaui metal detector. Kamera pengawas berbasis AI yang dapat mengenali gerak tubuh mencurigakan bisa menjadi salah satu opsi. Protokol verifikasi identitas juga harus diperketat, mungkin dengan memanfaatkan biometrik, bukan sekadar KTP dan foto.
Kedua, literasi integritas harus ditanamkan sejak dini, bahkan sebelum siswa mencapai bangku SMA. Pendidikan karakter bukan pelengkap kurikulum, tapi fondasi utama.
Ketiga, perlu tindakan tegas dan terbuka terhadap para pelaku. Menahan, memeriksa, dan melaporkan ke polisi seperti yang dilakukan USU adalah langkah berani yang layak diapresiasi. Namun, proses hukum harus dilanjutkan secara transparan agar menimbulkan efek jera yang nyata.
Yang paling penting, masyarakat juga harus mengubah cara pandangnya. Anak yang gagal UTBK bukanlah aib. Sebaliknya, anak yang curang---namun berhasil---adalah kegagalan kita semua sebagai bangsa.
Tahun 2025, USU mencatatkan peningkatan peserta menjadi 38.133 orang, naik dari 37.169 tahun sebelumnya. Satu peserta tunanetra ikut dalam ujian, menunjukkan bahwa akses inklusif sudah mulai terwujud. Namun, akses yang luas harus dibarengi dengan keadilan yang dijaga.
Di era di mana teknologi bisa digunakan untuk mempercepat kemajuan, jangan biarkan ia digunakan untuk mempercepat kehancuran moral.
Karena pintu masuk ke dunia pendidikan tinggi bukan hanya tentang siapa yang pintar, tapi siapa yang jujur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI