Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Di Bawah Matahari yang Sama

29 April 2025   08:00 Diperbarui: 28 April 2025   14:26 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tanggal 1 Mei, saya selalu teringat pada sebuah pemandangan lama: seorang buruh bangunan berdiri di atas tiang bambu, bertelanjang dada, kulitnya terbakar matahari. Tangannya cekatan mengaduk semen, kakinya bergantung pada nasib.

Saya bertanya-tanya: adakah hidupnya membaik tiap kali dunia memperingati Hari Buruh Internasional?

Sejarah mencatat, Hari Buruh lahir dari keringat dan darah. Di Chicago, pada 1886, ribuan buruh turun ke jalan menuntut jam kerja manusiawi. Polisi bersenjata menyambut mereka. Beberapa tewas, beberapa digantung. Ironis, tuntutan sederhana itu --- bekerja delapan jam sehari --- harus dibayar dengan nyawa.

Di negeri ini, nasib Hari Buruh sempat seperti gelombang pasang-surut. Pernah dirayakan megah, pernah dilarang dengan curiga. Baru pada 2013, pemerintah memberinya tempat di kalender. Tapi libur nasional hanyalah kulit. Yang penting adalah isinya: apakah nasib buruh berubah?

Di jalanan kota, kita melihat spanduk dan orasi. Di televisi, pidato-pidato resmi berseliweran. Tapi di balik layar, masih banyak buruh yang hidup dari gaji minim, tanpa jaminan kesehatan yang layak, tanpa kepastian kerja.

Saya teringat cerita seorang kawan, sopir ojek daring. Ia bangga menjadi bagian "ekonomi digital". Tapi, katanya, "Kalau saya sakit, siapa yang menanggung? Kalau motor saya rusak, siapa yang peduli?"

Zaman memang berubah. Pabrik-pabrik digantikan algoritma. Mesin pintar mengambil alih tugas manusia. Dunia kerja menjadi lebih cepat, lebih kejam, dan seringkali lebih sunyi.

Apa artinya Hari Buruh di tengah dunia seperti ini?

Mungkin jawabannya sederhana: mengingat bahwa di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi, ada manusia. Manusia yang bekerja keras, yang punya keluarga, yang punya mimpi kecil: makan cukup, anak sekolah, hari tua yang tenang.

Hari Buruh seharusnya bukan sekadar seremoni, bukan sekadar angka dalam sejarah. Ia harus menjadi cermin: apakah kita, sebagai bangsa, masih menghargai kerja sebagai martabat?

Pemerintah, pengusaha, serikat pekerja --- semua punya hutang janji kepada mereka yang setiap pagi bangun lebih pagi, pulang lebih malam, dan sepanjang hari berdiri di bawah matahari yang sama.

Membangun negeri bukan hanya soal membangun gedung dan jalan, melainkan membangun keadilan. Memberi rasa aman kepada mereka yang tiap tetes keringatnya menjadi fondasi kemajuan.

1 Mei hanyalah satu hari dalam setahun. Tapi bagi buruh, perjuangan adalah tiap hari, dari pagi hingga senja, dari muda hingga renta.

Selamat Hari Buruh. Semoga kita tidak hanya mengingat mereka hari ini, tapi menghargai mereka setiap hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun