Setiap tanggal 1 Mei, saya selalu teringat pada sebuah pemandangan lama: seorang buruh bangunan berdiri di atas tiang bambu, bertelanjang dada, kulitnya terbakar matahari. Tangannya cekatan mengaduk semen, kakinya bergantung pada nasib.
Saya bertanya-tanya: adakah hidupnya membaik tiap kali dunia memperingati Hari Buruh Internasional?
Sejarah mencatat, Hari Buruh lahir dari keringat dan darah. Di Chicago, pada 1886, ribuan buruh turun ke jalan menuntut jam kerja manusiawi. Polisi bersenjata menyambut mereka. Beberapa tewas, beberapa digantung. Ironis, tuntutan sederhana itu --- bekerja delapan jam sehari --- harus dibayar dengan nyawa.
Di negeri ini, nasib Hari Buruh sempat seperti gelombang pasang-surut. Pernah dirayakan megah, pernah dilarang dengan curiga. Baru pada 2013, pemerintah memberinya tempat di kalender. Tapi libur nasional hanyalah kulit. Yang penting adalah isinya: apakah nasib buruh berubah?
Di jalanan kota, kita melihat spanduk dan orasi. Di televisi, pidato-pidato resmi berseliweran. Tapi di balik layar, masih banyak buruh yang hidup dari gaji minim, tanpa jaminan kesehatan yang layak, tanpa kepastian kerja.
Saya teringat cerita seorang kawan, sopir ojek daring. Ia bangga menjadi bagian "ekonomi digital". Tapi, katanya, "Kalau saya sakit, siapa yang menanggung? Kalau motor saya rusak, siapa yang peduli?"
Zaman memang berubah. Pabrik-pabrik digantikan algoritma. Mesin pintar mengambil alih tugas manusia. Dunia kerja menjadi lebih cepat, lebih kejam, dan seringkali lebih sunyi.
Apa artinya Hari Buruh di tengah dunia seperti ini?
Mungkin jawabannya sederhana: mengingat bahwa di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi, ada manusia. Manusia yang bekerja keras, yang punya keluarga, yang punya mimpi kecil: makan cukup, anak sekolah, hari tua yang tenang.
Hari Buruh seharusnya bukan sekadar seremoni, bukan sekadar angka dalam sejarah. Ia harus menjadi cermin: apakah kita, sebagai bangsa, masih menghargai kerja sebagai martabat?