Berbekal rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 Puskesmas Cipamokolan, Bandung, saya menyambangi Rumah Sakit Al Islam keesokan harinya sekitar pukul 05.45. Bisik-bisik dari teman yang pernah ke sini, antrean pasien BPJS Kesehatan sudah memanjang sejak pukul 05.30. Petugas Satpam menjelaskan kepada saya bahwa dokter mata yang bertugas tidak masuk hari ini. Gigit jari? Tidaklah, kan saya sedang berpuasa. Terima saja dengan ikhlas.

Saya ikut antre. Baru kali ini saya mendaftar berobat sampai antre. Pukul 06.00 pintu rumah sakit dibuka, antrean mulai maju. Petugas satpam membagikan nomor antrean kepada pasien. Saya mendapat nomor antre pendaftaran A-42.
Petugas pendaftaran tak lama terdengar mengajak pasien berdoa bersama sebelumnya. Lalu, petugas menyebutkan dokter-dokter yang melayani pasien BPJS Kesehatan yang sudah bisa ditemui secara langsung. Termasuk dokter mata yang saya akan temui.

Satu per satu pasien dipanggil petugas pendaftaran. Nomor A42 saya baru dipanggil tiga jam kemudian. Benar-benar menguji kesabaran. Untungnya, saya sudah menyiapkan mental sebelunya. Jadi baik-baik saja. Sebagai bonus kesabaran, ternyata saya masih dapat nomor untuk masuk klinik mata dengan dokter Gilang.
Celoteh Ruang Tunggu
Saya tak asing dengan rumah sakit ini. Dulu isteri saya karyawan rumah sakit ini. Di rumah sakit ini pula isteri saya melahirkan putra kami, bahkan kami sekeluarga selalu berobat di sini. Tapi mendatangi klinik mata adalah pertama buat saya, pertama kali pula berobat memakai BPJS Kesehatan.
Ternyata di ruang tunggu klinik mata sudah ada beberapa pasien. Sebenarnya saya bisa pulang dulu karena mendapat nomor antrean tinggi untuk bertemu dokter. Tapi saya memutuskan untuk berbaur dengan pasien lain, terutama yang menggunakan kartu BPJS Kesehatan.
Saya mendapat cerita dari Bu Kartina, usia sekitar 60 tahunan, yang baru saja menjalani operasi katarak. Hari ini dia harus kontrol kembali memeriksa kesehatan matanya. “Alhamdulillah, saya mah nggak keluar biaya lagi pas operasi. Padahal katanya mah biaya operasi katarak teh lebih dari tujuh juta. Coba kalau saya nggak pakai BPJS, uang dari mana segitu?”
Lantaran saya baru mempelajari prinsip gotong-royong pada sistem pengelolaan keuangan BPJS Kesehatan, saya pun menjelaskan kepada Bu Kartina. “Sebenarnya Ibu tetap keluar biaya alias nggak gratis. Ibu kan sudah setahun lebih jadi anggota BPJS Kesehatan. Anggaplah sebenarnya sudah menabung Rp.59.500 dikali 15 bulan, yakni Rp892.500. Nah, kekurangannya ditalangi dulu dari iuran BPJS Kesehatan orang lain. Bisa saja punya anak-anak ibu, kerabat ibu, ataupun tetangga ibu, “ papar saya. Dalam hal ini saya tidak mempertimbangkan kenaikan BPJS kelas 1 dari Rp59.500 menjadi Rp80.000.