Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wayang Orang Bharata: “Kripik Gedang Kripik Telo, Sitik Edang Podho Roto”

11 Oktober 2016   13:02 Diperbarui: 11 Oktober 2016   13:13 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

JAKARTA - APA kiat Wayang Wong Bharata yang terletak di daerah Senen, Jakarta Pusat, bertahan hingga kini. Apa yang menjadi daya kekuatannya selama ini? Sederhana jawabannya. Guyub rukun adalah satu dari sekian hal yang membuat Wayang Orang Bharata mampu bertahan hidup hingga kini.

Bahkan tak terasa telah berjalan selama lima generasi. Tercatat, sejak tahun 1972 secara resmi WO Bharata telah berdiri. Meski sejatinya, seperti diceritakan Yunus, kelompok wayang orang itu sudah ada sejak tahun 1962 dengan nama Panca Murti. Gedung pertunjukan WO Bharata yang sekarang beralamat di Jl. Kalilio No. 1. Senen, Jakarta Pusat, “Tadinya adalah gudang logistik milik Belanda,” katanya kepada penulis pada sebuah kesempatan. .

Sebelum akhirnya diambil alih oleh seorang pengusaha China, dan disulap menjadi gedung bioskop film bisu bernama Rialto. Setelah waktu berjalan, gedung bioskop tutup, dan menjadi kosong. Karena kosong, seorang perwira berpangkat Mayor bernama Suyono dari kesatuan Siliwangi, yang kebetulan berkantor di depan gedung itu, akhirnya menggunakan tempat itu sebagai tempat pertunjukan wayang orang. “Mayor Suyonolah yang akhirnya mendirikan WO Panca Murti, karena kecintaannya pada wayang orang pada tahun 1962,” ujar Yunus yang dalam kesehariannya di WO Bharata berposisi sebagai humas, protokoler sekaligus ticketing.

Bahkan pada awal kejayaannya Panca Murti sempat menjadi tiga kelompok Wayang Orang. Yang satu mendapatkan tugas keliling Sumatra, sisangnya keliling Jawa, dan yang hingga kini menetap di Jakarta. Sebelum akhirnya sang Mayor sibuk dikesatuannya, mengakibatkan WO Panca Murti harus membubarkan diri. Nah, merasa terpanggil lagi untuk menghidupkan kelompok wayang orang itulah, mantan anggota Panca Murti akhirnya pada 5 juli 1972 berketetapan hati membentuk WO Bharata.

Sebelum disempurnakan dengan berdirinya Yayasan Bharata pada tahun 1977. Dibarengi dengan pembangunan padepokan WO Bharata di Ancol Selatan RT 012, RW 02, Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di padepokan yang dibangun dari tahun 1980-1982 itulah, hingga kini puluhan pendukung WO Bharata sebagian besar tinggal dan menyambung nasib mereka di dunia kesenian, dengan segala keguyuban dan kesehajaannya.

Keguyupan itulah yang menjadi moto pertama dan utama, sekaligus senjata dan daya bagi para pendukung WO Bharata untuk bertahan hingga kini. “Diluar norma-norma lainnya seperti yang muda menghormati yang tua, dan yang tua, melindungi yang muda,” ujar Yunus. Tentu saja ada daya-daya pendukung kehidupannya di luar nilai-nilai keluhuran itu, yang membuat WO Bharata tetap bertahan hingga sekarang.


Salah satunya, uluran dana dari Dinas terkait, dalam hal ini Pariwisata dan Kebudayaan. Yang diambil setiap Triwulan selama setahun. Meski sumbangan itu jumlahnya relatif, tapi sangat menolong keberadaan kelompok itu. Di luar uluran tangan dari berbagai perusahaan di Jakarta, yang biasanya menghibahkan sejumlah donasi dari bagian Coorporate Social Responsibility (CSR).

Sepenceritaan Yunus, tercatat ada nama JICT (Jakarta International Container Terminal), yang mengibahkan dana sebesar 180 juta per tahun kepada WO Bharata. Yang diambil setiap triwulan sebesar 45 juta rupiah. Dana sebesar itu, biasanya dialokasikan untuk kesejahteraan para anggota WO Bharata, pengadaan ATK (Alat Tulis Kantor), dan pengadaan kostum.

Biasanya, alokasi untuk pengadaan kostum adalah yang terbesar, karena untuk kostum sebuah pertunjukan dari satu naskah bisa memakan bujet sebesar Rp. 10 juta. “Dan harus dipesan paling tidak tiga bulan sebelumnya,” ujar Yunus. Selain itu, nama perusahaan lainnya seperti Bentoel juga tidak mau ketinggalan serta. Selain pribadi-pribadi yang sangat perhatian dengan WO Bharata, seperti Dirjen Bea Cukai saat ini, Agung Kuswandono. Yang dengan kedudukan yang diamiliki, meminta kepada sejumlah perusahaan besar, seperti DHL misalnya, untuk ‘memberikan’ perhatian kepada kelangsungan kehidupan kelompok kesenian seperti WO Bharata.

Apakah dengan dukungan dari berbagai pihak, seketika membuat WO Bharata bertahan di tengah gempuran berbagai macam tontonan di Ibu Kota yang kosmopolitan? Tentu tidak! Ada kiat yang harus dijalankan dengan segala kreatifitas yang mereka miliki. Yaitu dengan menyajikan tontonan dengan padat, singkat dan berisi. Caranya, dengan mematangkan koreografi tarian sedemikian rupa, sehingga menjadi menarik, dengan sajian yang berbeda-beda di setiap lakon yang mereka pertunjukkan.

Selain dengan memperkaya dekorasi atau setting pertunjukkan, dengan melibatkan piranti dramatis penyertanya. Seperti smoke gun, dry ice, kabel selling dan berbagai efek lainnya. Yang paling utama, sepenceritaan Yunus yang bergabung dengan WO Bharata dari tahun 1990, setelah sebelumnya ngangsu ilmu di WO Ngesti Pandowo dari tahun 1979-1982,”Adalah mempersingkat cerita,” katanya.

Lakon sebisa mungkin dikemas dalam durasi waktu 3-3,5 jam. Atau dimulai dari pukul 20.30 hingga 12.00. Tapi lakon menjadi lebih singkat, atau 2,5 jam, ketika dibawa keluar dari gedung WO Bharata. Karena, biasanya pertunjukan yang mereka gelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) misalnya, stamina penonton berada di titik ideal selama 2,5 jam.

Hasilnya memang berdampak atas kunjungan penonton di setiap lakon yang mereka digelar pada setiap Sabtu. Paling buruk 70-80 persen tempat duduk yang berjumlah 250 senantiasa terisi di gedung WO Bharata. Kalau hari sedang baik, dan tidak sedang hujan, bahkan kursi terisi semua. Dengan tiiket dijual pada kelas VIP seharga Rp.60 ribu, Klas I Rp. 50 ribu dan balkon Rp.40 ribu, mereka bisa mendapatkan pemasukan 10-11 juta sekali main. Meski biaya produksi setiap lakon, bisa mencapai angka Rp.7 juta sampai Rp. 8 juta, dengan pendukung lakon sebanyak 130 an orang.

130 orang itu meliputi pemain, pengrawit, bagian dekor, kebersihan dan semua lini pendukung lainnya,”Dan ke-130 orang itu mendapatkan sangu ganti wedang,” ujar Yunus. Maksudnya, sebagai jasa pengganti jerih payah mereka, di posisi masing-masing. Misalnya, bintang utama lakon mendapatkan Rp. 50 ribu, pemain tamu justru mendapatkan Rp. 150 ribu, karena biasanya mereka datang dari jauh. Sedangkan pemain remaja mendapatkan Rp. 25 ribu.

Atau jika sedang beruntung ada orang berkelimpahan rejeki menumpahkan rupiah dalam jumlah tertentu di pementasan mereka, seketika juga akan mereka bagi rata dan adil,”Kripik Gedang Kripik Telo, sitik edang podho roto,” ujar Yunus berkelakar.

Lalu bagaimana prospek ke depan WO Bharata? Dengan kondisi sekarang, apakah makin mengilap atau justru buram? “Makin bagus kalau menurut saya,” katanya. Meski tentu saja, dia menyelipkan kalimat, tetap ada sedikit kekurangan. Karena, pemerintah menurut Yunus, masih setengah hati untuk memberikan dukungan di bidang kebudayaan,”Tidak 100 persen,” ujarnya.

Apalagi jika dibandingkan dengan perhatian pemeritah kepada bidang yang lain seperti olahraga, dan pariwisata, yang menurut dia,”Habis-habisan”. Untuk dana bantuan wayang, menurut dia, hanya mendapatkan 150 juta setahun,”Padahal wayang orang kan aset nasional,” ungkapnya. Dan peminatnya masih banyak. Bahkan di Jakarta, saat ini, bertumbuh beberapa sanggar Wayang Orang, seperti Sekar Budaya Nusantara, Setia Budaya Indonesia (SBI), Puspo Budoyo, Swargaloka, Kuntinalibrata dan beberapa nama lainnya. Ikatan yang baik diantara kelompok WO di Jakarta itulah, yang menjadi salah satu penyokong keberlangsungan hidup para pendukung WO itu sendiri.

Oleh karenanya, dalam setiap pentas WO Bharata senantiasa melahirkan para bintang panggung. Siapakah pemain bintang yang paling moncer di WO Bharata? Tak lain dan tak bukan adalah nama Kis Slamet (72). Sebagai penari senior, sudah tidak terhitung lagi sudah berapa ratus kali dia menari di atas panggung pertunjukan.

Jejak rekamnya panjang dan sangat dalam. Pada sebuah masa, dia pernah menjadi penari istana di zaman Bung Karno. Selain itu, dia adalah pemain watak untuk layar lebar sezaman dengan WD Mochtar dan Dicky Zulkarnaen. Selain tentu saja ada beberapa nama lainnya seperti Aris Mukti (65), Marsan (63), Heru Sutanto (61), Heru Mudji (55) yang biasanya berlakon sebagai sosok ibu atau Srikandi. Serta beberapa nama lainnya seperti Ibu Surip yang kemunculannya senantiasa ditunggu di setiap adegan goro-goro, hingga yang paling junior bernama Krisna (15).

Sederhananya, setiap pemain pasti mempunyai pencintanya sendiri, dan setiap penonton mempunyai bintangnya sendiri. Dan hubungan antara pemain dan penonton sangat saling menghormati. Tidak murahan sebagaimana dunia selebritas yang dangkal.

Dengan perjalanan panjang WO Bharata, bagaimana Yunus melihat keadaan WO Bharata saat ini? Menurut dia, sudah mampu eksis saja WO Bharata sudah alhamdulilah. Oleh karenanya, pihaknya bahkan telah menghadap Gubernur Jokowi untuk meminta dukungan langsung, untuk meminta hari pentas yang ditambah menjadi dua atau tiga hari dalam seminggu. Sebab saat ini, WO hanya pentas sehari dalam seminggu. Dibandingkan dengan era sebelum reformasi, WO Bharata bahkan bisa pentas saban hari dalam seminggu.

Sebagaimana yang dilakukan teater Kabuki di Jepang, yang pentas saban hari, dengan ada atau tidak ada penontonnya sekalipun. Karena urusan penonton, cerita Yunus, masa itu telah menjadi urusan Dinas Pariwisata sekaligus kegiatan kepromosiannya,”Kita hanya pentas, urusan penonton digarap teman-teman dari perhotelan di Jakarta,” katanya. Ya, dengan menyediakan informasi di setiap hotel di Jakarta yang tingkat huniannya baik, dan diarahkan untuk menonton WO Bharata, adalah salah satu cara dari sekian cara yang dapat mempertahankankeberlangsungan kelompok itu.

Meski tanggapan Jokowi baik, tapi untuk mewujudkan hari pentas yang ditambah masih membutuhkan bujet yang tidak kecil. Termasuk usulan pengurus WO Bharata untuk tukar guling di salah satu gedung di Kemayoran, yang notabene mempunyai lahan parkir yang luas untuk penontonnya. Berbeda dengan lahan parkir di Senin, yang sangat terbatas, dan bersebelahan dengan pasar Senin,”Yang kadang keamanannya dikawatirkan teman-teman perhotelan,” katanya. Bahkan Sugeng Saryadi dari Sugeng Saryadi Syndicate juga telah mengupayakan sebuah bangunan gedung pertunjukan baru, lengkap dengan  sanggar latihan plus perumahan bagi para awak WO,”Tapi masih wacana,” katanya.

Dengan apa yang telah dilakukan dan diraih WO Bharata, lalu apa mimpi dan harapan Yunus ke depan atas kelangsungan kelompok wayang orangnya itu? Sederhana,”Saya ingin makin total,” katanya. Karena keberadaan kelompok WO di Jakarta memungkinkannya, bersama sejumlah kawannya yang lain, yang menggantungkan hidup di dunia pertunjukan, bisa melakukan itu. Caranya dengan turut terlibat dalam penggarapan proyek di sejumlah kelompok WO lainnya. Baik itu para penari, wiyogo, hingga pemain,”Lumayan mas, buas tambah-tambah,” katanya yang juga menjaga laman resmi WO Bharata yang beralamat di jejaring sosial Facebok: WayangOrangBharata, dan alamat Twitter @WOBharata. (Benny Benke)

tulisan ini pernah diunggah di laman http://berita.suaramerdeka.com/blogjurnalis/kripik-gedang-kripik-telo-sitik-edang-podho-roto/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun