Mohon tunggu...
Benjamin Simatupang
Benjamin Simatupang Mohon Tunggu... Lainnya - Ayah, suami dan anak

Just keep swimming!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Umat Kristen Indonesia dan Politik

14 Februari 2024   06:37 Diperbarui: 14 Februari 2024   06:48 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ebooks.gramedia.com/id/buku/agama-dan-politik-di-indonesia

Menjelang pemilihan pemimpin, baik di tingkat RT sampai Presiden, pertanyaan tersebut mungkin pernah anda dengarkan dalam obrolan dengan keluarga ataupun rekan.  Pertanyaan yang mudah, namun tidak akan pernah memperoleh kepastian, karena kemungkinan sangat besar bahwa Tuhan tidak menjawabnya secara lahiriah.    

https://www.youtube.com/watch?v=o0KHkcQmFp8
https://www.youtube.com/watch?v=o0KHkcQmFp8

Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah orang yang religius, penulis menduga pertanyaan tersebut kerap muncul.  Hal yang baik.  Sebagai orang yang percaya Tuhan, kan, umat ingin mengetahui, diantara orang-orang yang menawarkan diri kepada rakyat untuk menjadi pemimpin melalui kontestasi yang terbuka di publik, manakah yang memperoleh persetujuan ilahi?      

Para politisi tahu itu.  Dan para politisi sering ingin menunjukkan adanya dukungan dari ilahi bagi mereka melalui pernyataan/kehadiran/deklarasi dari para rohaniwan.  Kalau perlu mengutip ayat-ayat kitab suci.  Atau para politisi tersebut memakai simbol yang diharap bisa mengasosiasikan dirinya sebagai 'good guy' dan 'orang pilihan Tuhan'.

Dalam diskusi/tanya jawab di sebuah radio Kristiani, saya pernah mendengar pertanyaan semacam itu diajukan ke pendeta yang menjadi narasumber.  Saat itu kontestasi Pilpres.  Sang pendeta tidak menyebutkan siapa pasangan yang menurutnya merupakan pilihan Tuhan.  Seingat saya, beliau hanya membahas masing-masing kandidat secara umum saja. 

Di tengah kontestasi sengit, terdapat tiga sikap umum yang dapat dilakukan.

Yang pertama adalah adalah tidak usah berlebihan mendukung calon pilihan anda.  Sedang-sedang saja.  Moderat saja dalam memberi dukungan.  Dukungan yang berlebihan bisa menimbulkan hubungan sosial bisa pecah.  Bagi para pendukung 'die hard', bisa timbul anggapan bahwa kalau bukan calon saya yang menang, maka akan hancurlah Indonesia.  Yang pacaran bisa putus, yang berumah tangga bisa cerai. 

Dari situs BBC.com (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47935315), disebutkan di tahun 2009, tingkat perceraian karena persoalan politik mencapai 402 kasus. Lalu, pada 2010, berkurang menjadi 334 kasus.  Pada 2011, kasus perceraian yang dilatarbelakangi persoalan politik mencapai 650 kasus. Namun, angka perceraian cukup tinggi karena persoalan politik terjadi pada tahun 2015 atau setahun setelah Pemilu 2014. Angkanya mencapai 21.193 kasus!

https://medium.com/side-a/the-righteous-mind-oleh-jonathan-haidt-ca99904b23d6
https://medium.com/side-a/the-righteous-mind-oleh-jonathan-haidt-ca99904b23d6

Selain itu, orang yang mati-matian mendukung calon tertentu secara berlebihan akan gampang kecele dan kecewa yang mendalam di kemudian hari.  Ada pepatah bahasa Latin, Honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, mulai berubahlah tingkah lakunya. Kekuasaan memang memesona dan menggetarkan. Banyak orang mabuk kekuasaan.  Banyak orang jatuh karena menyalahgunakan kekuasaan.  Sejarah sudah memberi banyak contoh.  Saat kita mendukung calon tertentu, tetap sisakan ruang untuk keraguan, betapapun kecilnya, bahwa sang calon yang kita dukung juga manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan.  Sebagaimana kita sudah diperingatkan juga oleh Oscar Wilde, "Every saint has a past, and every sinner has a future."

Yang kedua, pihak pendukung calon yang berbeda bukanlah musuh anda.  Dalam sikap mendukung yang berlebihan, sering kita merendahkan pihak lain.  Kita beranggapan pihak kitalah yang 'benar', sementara pihak 'sana' hanyalah orang-orang bodoh yang diperdaya oleh jargon kosong para buzzer dari kandidat yang mereka dukung.  Pihak 'sana' didegradasi dengan sebutan-sebutan yang menghina.  Padahal, pendukung pihak 'sana' adalah orang-orang yang tidak berbeda dengan kita, dan kita semua umat Tuhan yang dikasihi-Nya.  Dan secara teologis, bukankah sebagai pengikut Kristus, kita meyakini bahwa semua orang adalah sama di hadapan Allah, yaitu para pendosa yang diselamatkan semata oleh kasih karunia Allah.  Tidak ada orang yang lebih suci dari orang lain.  Kita semua membutuhkan belas kasihan Allah.  Kalaupun kita beranggapan pihak 'sana' adalah musuh, bukankah Yesus justru mengajarkan, "kasihilah musuhmu"?  Sanggupkah kita?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun