Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kapitalisme Predatorik: Menyoal Kedaulatan Pangan dalam Putusan Tom Lembong

25 Juli 2025   07:30 Diperbarui: 25 Juli 2025   20:01 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
W. E. B. Dubois (Sumber: Reddit)

Ketimpangan ini merefleksikan situasi agraria yang juga timpang, di mana 49% kekayaan nasional dikuasai oleh 1% elite (Databooks), melalui mekanisme rent-seeking yang dilegitimasi oleh celah hukum dan kebijakan pro-korporasi.

W. E. B. Dubois (Sumber: Reddit)
W. E. B. Dubois (Sumber: Reddit)

Namun, jalan menuju hukum progresif di Indonesia dihadang tiga tantangan besar. Pertama, oligarki politik: 44% anggota DPR memiliki afiliasi dengan kelompok usaha besar yang memengaruhi regulasi seperti Omnibus Law. Kedua, korupsi birokrasi: hanya 30% program redistribusi lahan (TORA) yang terealisasi, terhambat mafia tanah dan administrasi yang lemah. Ketiga, kapitalisme predatorik: kolusi antara elit bisnis dan pejabat membuat kebijakan pangan seperti impor gula merugikan petani dan merusak keadilan sosial.

Untuk menjawab tantangan ini, Indonesia perlu mendorong reformasi hukum berbasis Marhaenisme. Pertama, reforma agraria substantif: distribusi tanah disertai dukungan akses pasar, pendidikan, dan kesehatan, sebagaimana terbukti dalam studi kasus Mekarsari, Banten. Kedua, kodifikasi nilai Marhaenis dalam UU Tipikor dan ASN: menjadikan korupsi di sektor strategis sebagai delik yang mencantumkan unsur "kerugian rakyat", dan mewajibkan netralitas birokrasi dari kepentingan oligarki. Ketiga, penguatan kontrol publik atas kebijakan pangan melalui pembentukan Dewan Pangan Rakyat yang melibatkan petani, nelayan, dan konsumen—terinspirasi dari Coordinadora Nacional por el Cambio di Bolivia.

Sebagaimana diingatkan Satjipto Rahardjo, hukum harus berani meninggalkan positivisme kaku demi keadilan substantif. "Mengambil kendali" atas ekonomi bukanlah menutup pintu investasi, melainkan memastikan kunci ada di tangan rakyat, bukan oligarki.

Seruan Aksi dan Refleksi Akhir

Putusan terhadap Thomas Trikasih Lembong menandai urgensi mengevaluasi sistem ekonomi Indonesia yang kian menyimpang dari cita keadilan sosial. Seperti dikemukakan Hadiz (2010) dalam Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia, dominasi oligarki dalam pembentukan kebijakan ekonomi telah melemahkan demokrasi substantif. Sebaliknya, hukum progresif di Amerika Latin—nasionalisasi sumber daya oleh Bolivia dan Ekuador—membuktikan bahwa hukum bisa menjadi instrumen redistribusi dan kedaulatan rakyat (Kohl & Farthing, 2012, Journal of Latin American Studies).

Seruan aksi pertama ditujukan kepada rakyat: kesadaran kritis terhadap eksploitasi ekonomi harus dibangun, sebagaimana diperlihatkan dalam studi Gellert (2010, Critical Asian Studies) tentang ketimpangan kontrak tambang di negara berkembang. Praktisi hukum dan aparatur sipil negara perlu mendorong kebijakan pro-rakyat, berlandaskan prinsip netralitas birokrasi dan akuntabilitas sosial (Faguet, 2014, World Development, mengenai desentralisasi Bolivia). Sementara itu, teknokrat didorong merancang regulasi yang menutup celah kapitalisme predatorik, mengadopsi pendekatan developmental state (Evans, 1995) untuk mengendalikan ekonomi rente dan menyeimbangkan kekuatan pasar.

Salah satu instrumen konkret yang dapat menjembatani hukum dan keadilan substantif adalah pembentukan Dewan Pangan Rakyat. Konsep ini merupakan mekanisme partisipatif bottom-up yang terinspirasi dari husbandry role dalam teori Evans (1995): negara tidak hanya sebagai pengatur pasar, tetapi juga sebagai pelindung rakyat dari dominasi korporasi. Dewan ini melibatkan petani, nelayan, dan konsumen secara langsung dalam pengawasan, evaluasi, dan rekomendasi kebijakan pangan. Tujuannya adalah memastikan keadilan redistributif, mengurangi dominasi elit, dan memperkuat kedaulatan pangan lokal secara demokratis.

Relevansi konsep ini semakin nyata ketika mempertimbangkan bahwa Bapanas, sebagai lembaga resmi, cenderung mengedepankan efisiensi teknokratis, namun kerap rentan terhadap penetrasi kepentingan oligarki, sebagaimana ditunjukkan Hadiz (2010). Dewan Pangan Rakyat menekankan partisipasi langsung, sebagai koreksi struktural terhadap birokrasi yang cenderung eksklusif. Gagasan ini sejalan dengan Satjipto Rahardjo (2006) yang menekankan bahwa hukum harus menjadi sarana untuk keadilan substantif, bukan sekadar penjaga status quo.

Tantangan tentu ada, terutama dalam mengintegrasikan fungsi Dewan ini ke dalam kerangka kelembagaan Bapanas tanpa menimbulkan tumpang tindih. Namun, alih-alih membentuk lembaga baru, Bapanas dapat mengadopsi elemen partisipatif Dewan ini melalui regulasi internal, forum warga, atau kemitraan dengan koperasi pangan. Peluang reformasi ini terinspirasi dari praktik di Amerika Latin, di mana koperasi pangan lokal menunjukkan keberhasilan dalam menstabilkan harga dan distribusi melalui pengawasan komunitas (Spronk, 2013).

Refleksi akhir berpulang pada pemikiran Satjipto Rahardjo: hukum progresif harus melampaui batasan positivistik menuju cita keadilan yang hidup di masyarakat. Indonesia dapat belajar dari pengalaman Amerika Latin, namun harus mengembangkan pendekatan khas—melalui kemitraan negara-koperasi yang berbasis gotong royong. Penguatan lembaga seperti KPK, BPK, dan penerapan Dewan Pangan Rakyat menjadi bagian dari transformasi hukum sebagai alat keberpihakan. Sebab, mengambil kendali bukan berarti menutup pintu, tetapi memastikan kunci ada di tangan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun