Istilah yang Menggoda Kesadaran Publik
Sejak dipopulerkan oleh Presiden Prabowo dalam pidato penutupan Kongres PSI 2025, istilah 'serakahnomics' kemudian ramai diperbincangkan publik. Beliau menyebut istilah ini saat mengkritik praktik manipulatif dalam distribusi beras, khususnya pencampuran beras premium dengan medium yang menyebabkan penurunan kualitas dan kelayakan produk. Menurutnya, ini adalah bentuk keserakahan dalam sistem distribusi pangan nasional—tindakan yang mencerminkan orientasi keuntungan semata, mengorbankan kepentingan publik dan standar etika ekonomi.
Namun, istilah ini tidak berhenti sebagai alat kritik terhadap pasar. Tak lama setelahnya, seorang ekonom dari lembaga CELIOS (Center of Economic and Law Studies) mereinterpretasikan serakahnomics untuk mengkritik rangkap jabatan—khususnya kasus wakil menteri yang juga menjabat komisaris BUMN. Dari praktik pasar, istilah ini berpindah ke ranah tata kelola kekuasaan.Â
Fenomena ini bukan sekadar kesalahan semantik, melainkan gejala dari masalah lebih besar yakni erosi tanggung jawab intelektual dalam ruang publik.
Pertanyaannya: apakah ini bentuk pengayaan wacana, atau justru distorsi konseptual yang mengaburkan batas antara retorika dan analisis ilmiah?
Disonansi EtimologisÂ
Secara linguistik, serakahnomics merupakan gabungan dari kata "serakah" dan "economics". Frasa ini dengan sendirinya mengimplikasikan ranah ilmu ekonomi, atau setidaknya analisis terhadap perilaku ekonomi yang tidak etis. Presiden Prabowo menggunakan istilah ini dengan sasaran yang jelas: distorsi harga dan kualitas dalam pasar pangan.
Namun ketika seorang pengamat ekonomi mereintepretasikan serakahnomics untuk mengkritik rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris, terjadi kekeliruan konseptual yang tidak dapat diabaikan. Isu rangkap jabatan bukanlah soal ekonomi pasar, melainkan isu tata kelola pemerintahan.Â
Penunjukan komisaris adalah kewenangan Menteri BUMN. Ia menyangkut hukum administrasi negara, etika jabatan publik, dan struktur kelembagaan birokrasi. Analisis semacam ini membutuhkan perangkat dari ilmu politik, hukum tata negara, dan manajemen publik.
Kekeliruan ini dapat disebut sebagai bentuk academic slippage—yakni kecenderungan longgarnya kedisiplinan akademik dalam menggunakan istilah atau konsep, demi efektivitas retoris. Misalnya, menggunakan istilah seperti "inflasi kekuasaan" tanpa merujuk indikator atau teori yang valid, atau menyematkan jargon ekonomi pada masalah non-ekonomi demi efek dramatis.
Dalam kasus serakahnomics, yang semestinya mengacu pada perilaku pasar yang serakah dan eksploitatif, penyematan istilah ini pada praktik rangkap jabatan justru melahirkan reduksi makna yang menyesatkan. Merangkap jabatan bukanlah ekspresi langsung dari dinamika pasar bebas, melainkan merupakan hasil dari mekanisme administratif dalam lingkup kekuasaan negara.Â