Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Zionisme: Nasionalisme Diaspora Bukan Kolonialisme Barat

5 Juni 2025   01:34 Diperbarui: 5 Juni 2025   07:11 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekelumit diplomatik Israel - Indonesia  (sumber: ai)

Isu Israel–Palestina kerap membangkitkan emosi di publik Indonesia. Dalam diskursus populer, Zionisme kerap disamakan dengan kolonialisme ala Barat: menguasai, menjajah, dan menindas. Namun, pendekatan antropologi budaya dan sosiologi perubahan sosial justru menawarkan pemahaman yang lebih mendalam dan berlapis. Beberapa akademisi telah mengkritisi penyamaan Zionisme dengan kolonialisme, menekankan perbedaan mendasar dalam motivasi, struktur, dan konteks historisnya.

Dalam kajian sosiologis, Gershon Shafir menunjukkan bahwa praktik kolonisasi Zionis awal berkembang sebagai bentuk 'koloni perkebunan etnis', dengan pembelian tanah dan pembangunan mandiri, bukan eksploitasi paksa ala kolonialisme Eropa. Namun, model ini berevolusi menjadi strategi pemukiman etnis murni sebagai bentuk perjuangan nasional (Shafir, 1989). Arnon Golan juga menekankan bahwa Zionisme tumbuh dari gerakan pembebasan nasional Yahudi di Eropa Timur, bukan dari proyek imperialisme kekuatan metropolitan (Golan, 2001). Pendekatan ini sejalan dengan teori Benedict Anderson tentang bangsa sebagai "komunitas terbayang" (imagined communities), di mana identitas nasional dibentuk melalui narasi sejarah, imajinasi sosial, dan memori kolektif. Dalam konteks ini, Zionisme dapat dipahami sebagai upaya membangun kembali identitas nasional Yahudi yang tercerabut oleh diaspora, bukan sebagai ekspansi kolonial.

Zionisme muncul di akhir abad ke-19 sebagai respons terhadap maraknya anti-Semitisme dan kegagalan integrasi Yahudi dalam proyek liberalisme Eropa. Ia adalah bentuk "etnonasionalisme diaspora"—yakni nasionalisme yang tidak tumbuh dari tanah yang dikuasai, melainkan dari memori, kitab, dan mitos kolektif tentang tanah leluhur. Dalam konteks ini, konsep yang dikembangkan Simon Dubnow dan Nathan Birnbaum tentang "diaspora nationalism" relevan: bahwa identitas nasional dapat dipertahankan melalui bahasa, budaya, dan jaringan sosial komunitas diaspora, bahkan tanpa eksistensi negara-bangsa. Benedict Anderson turut memperluas hal ini melalui konsep “long-distance nationalism”, yakni keterlibatan politik dan emosional komunitas diaspora terhadap tanah leluhur yang jauh secara geografis namun dekat secara simbolik. Konsep ini diperkuat pula oleh Pierre Nora dalam gagasannya tentang lieux de mémoire—bahwa bangsa dibentuk tidak hanya oleh tempat geografis, tetapi oleh ruang-ruang ingatan kolektif yang hidup dalam ritus, simbol, dan narasi sejarah. Contoh lain yang memperkuat analogi ini adalah gerakan Pan-Afrikanisme (gema kampanye Black Lives Matter salah satunya) dan komunitas Armenia diaspora yang membangun ikatan melalui institusi budaya dan religius lintas benua. Dalam perspektif ini, Zionisme serupa dengan nasionalisme dunia ketiga: mengakar pada narasi penderitaan, pengasingan, dan hasrat membangun kembali martabat kolektif, bukan dominasi kolonial.

Kristalisasi Ideologis Zionisme

Zionisme tidak hanya merupakan gerakan politik untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, tetapi juga sebuah proyek rekonstruksi sosial yang mendalam. Salah satu manifestasi paling nyata dari upaya ini adalah pendirian kibbutzim—komune pertanian kolektif yang menjadi tulang punggung pembangunan masyarakat Yahudi di tanah Israel. Kibbutzim pertama kali didirikan oleh para anggota gerakan Bilu, dengan Degania Alef sebagai kibbutz pertama yang berdiri pada tahun 1910. Para pendiri kibbutzim, seperti Yosef Baratz, terinspirasi oleh idealisme sosialisme dan keinginan untuk menciptakan masyarakat egaliter yang mandiri dan berkelanjutan. Mereka menekankan prinsip kepemilikan bersama, kerja kolektif, dan kehidupan komunal yang setara, mencerminkan nilai-nilai sosialisme yang diadaptasi dalam konteks Zionis.

Selain kibbutzim, gerakan sosial Yahudi lainnya yang berpengaruh adalah Poale Zion, yang menggabungkan ideologi Marxis dengan aspirasi nasional Yahudi. Tokoh seperti Ber Borochov mengembangkan teori bahwa pembentukan proletariat Yahudi di tanah Israel adalah langkah penting untuk mewujudkan masyarakat sosialis Yahudi yang mandiri. Poale Zion menekankan pentingnya aliyah (migrasi ke Israel) oleh kaum pekerja Yahudi sebagai cara untuk membangun negara Yahudi melalui kerja dan solidaritas kelas pekerja.

Di sisi lain, meskipun kibbutzim dan jaringan Poale Zion menjadi tulang punggung institusional Zionisme, tidak semua gerakan Yahudi mendukung pembentukan negara-bangsa. General Jewish Labour Bund (The Bund), misalnya, adalah gerakan sosialis Yahudi di Eropa Timur yang memperjuangkan masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara—sejalan dengan visi komunisme libertarian. Bundis menolak Zionisme karena dianggap mengalihkan perjuangan kelas ke proyek nasionalisme teritorial. Mereka lebih menekankan pada doykayt ("di sini-lah tempat kita"), bahwa komunitas Yahudi harus memperjuangkan hak dan martabatnya dalam konteks sosial negara tempat mereka tinggal. 

Jika kita mau menempatkan diri pada nuansa jaman itu, perdebatan ini jelas memperkaya kristalisasi ideologi Zionisme—yang pada akhirnya memilih jalan berbeda: membentuk tatanan sosial baru di tanah historis dengan model kolektif agraris, namun tetap dalam kerangka kenegaraan. Dengan demikian, Zionisme memadukan semangat emansipasi sosialis dengan realisme politik pembentukan negara modern, sebagaimana juga digambarkan dalam kerangka rasionalisasi Max Weber—bahwa kekuasaan yang sah memerlukan legitimasi hukum dan struktur institusional yang dapat bertahan.

Sekali lagi, Zionisme adalah bentuk gerakan sosial modern. Ia tidak hanya berangkat dari narasi penderitaan, tetapi dari rekonstruksi institusional yang sadar dan terarah. Melalui kongres Zionis, jaringan komunitas Yahudi, dan pembangunan ekonomi berbasis solidaritas, gerakan ini menunjukkan ciri khas transformasi sosial dari bawah (arus gerakan bottom up yang jauh dari kesan kolonialisme). Dalam kerangka sosiologi klasik, Max Weber melihat bahwa nasionalisme modern tumbuh dari proses rasionalisasi dan institusionalisasi nilai kolektif dalam struktur sosial yang baru.

Konflik Nasionalisme Modern

Zionisme menjadi contoh konkret bagaimana gerakan identitas dapat mengambil bentuk organisasi modern yang sistematis. Namun, transformasi tersebut tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia berlangsung dalam lanskap konflik dengan komunitas Arab setempat dan dalam bayang-bayang kekuatan kolonial Inggris. Di sinilah dialektika Zionisme menjadi kompleks: ia adalah gerakan pembebasan bagi satu kelompok, tetapi juga menimbulkan dislokasi bagi kelompok lain. Kompleksitas ini menyerupai pengalaman Indonesia pascakolonial dalam menata ulang kebangsaan. Di tengah euforia kemerdekaan, negara ini juga menghadapi dilema integrasi antara berbagai etnis, eksil politik, dan diaspora intelektual yang pernah tercerabut. Hubungan negara dengan komunitas eksil 1965, misalnya, mencerminkan dinamika antara trauma sejarah dan kehendak untuk menyatukan kembali identitas kebangsaan secara inklusif.

Di sinilah letak urgensinya bagi publik Indonesia untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas, tenang, dan historis dalam menyikapi pernyataan Presiden Prabowo bahwa Indonesia siap mengakui Israel. Apresiasi terhadap eksistensi negara-bangsa Yahudi tidak identik dengan persetujuan terhadap segala kebijakan pemerintah Israel. Sama seperti kita mengakui bangsa Myanmar, meski menentang rezim militernya, atau mengakui Tiongkok, meski berbeda sistem negaranya, maka pengakuan terhadap Israel sejatinya adalah ekspresi rasional dari prinsip realisme diplomasi yang matang. Dalam konteks ini, pidato Bung Karno yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang tidak minder dan tidak buta sejarah” menjadi relevan. Mengakui eksistensi Yahudi sebagai bangsa berarti mengakui pula bahwa sejarah dunia penuh dengan simpul-simpul tragis yang harus kita pahami, bukan kita tutup rapat.

Perbandingan ini menegaskan bahwa proyek nasionalisme modern, baik di Israel maupun Indonesia, selalu dibentuk oleh kontradiksi internal dan kontestasi sosial. Zionisme tidak bisa dipahami secara monolitik sebagai penjajahan, karena ia juga mengandung elemen emansipatoris, mobilisasi kolektif, dan pencarian identitas yang tercerabut. Sama seperti Indonesia yang mengakui peran diaspora dalam diplomasi kebangsaan, atau yang perlahan merehabilitasi eksil-eksil masa lalu dalam memori kolektif bangsa, Zionisme pun adalah upaya membangun rumah bagi mereka yang tak lagi memiliki tempat di dunia. Bung Karno dalam pidato-pidatonya menekankan pentingnya "bangsa sebagai konstruksi kehendak politik"—bahwa nasionalisme bukan hanya soal geografi, tapi tentang semangat, kesadaran, persamaan nasib, dan kehendak bersama. Dalam semangat yang sama, Zionisme muncul sebagai respons terhadap keterasingan kolektif, bukan sebagai ekspansi kekuasaan.

Namun dalam realitas sejarahnya, tragedi Nakba 1948 yang mengakibatkan pengungsian massal masyarakat Palestina tetap merupakan luka kemanusiaan yang tak terelakkan. Tetapi narasi ini juga perlu dilengkapi dengan fakta bahwa komunitas Yahudi di banyak negara Arab seperti Irak, Yaman, Suriah, dan Mesir, turut mengalami pengusiran, diskriminasi, dan kekerasan—fenomena yang oleh sebagian akademisi disebut sebagai “Jewish Nakba.” Sekitar 850.000 Yahudi meninggalkan dunia Arab sejak 1948 hingga 1970-an, dalam kondisi yang seringkali memaksa dan penuh kekerasan. Mereka yang datang ke Israel tidak datang sebagai penjajah, melainkan sebagai pengungsi yang membawa luka dan kerinduan atas rumah. Coba bayangkan jika hal tersebut terjadi oleh masyarakat keturunan Jawa di Suriname.

Tabel fenomenologi populasi Yahudi di negara-negara arab (Sumber: ujs.org.uk)
Tabel fenomenologi populasi Yahudi di negara-negara arab (Sumber: ujs.org.uk)

Aspek ini menegaskan bahwa Zionisme, dalam sebagian dimensinya, bukanlah kolonialisme klasik, melainkan proyek nasionalisme plural—sebuah mozaik komunitas Yahudi dari berbagai latar belakang etnis dan geografis. Di Israel hari ini, terdapat Yahudi Ashkenazi dari Eropa, Yahudi Mizrahi dari dunia Arab, Yahudi Etiopia berkulit hitam, dan bahkan Yahudi Arab yang berbahasa Arab dan membawa tradisi lokal. Selain itu, terdapat pula komunitas Yahudi yang beragama Muslim dan Kristen, termasuk segmen kecil Bnei Menashe dari India dan komunitas Yahudi Kaifeng dari Tiongkok. Fenomena ini memperlihatkan bahwa Zionisme bukanlah etnonasionalisme eksklusif, tetapi etnonasionalisme yang merekonstruksi bangsa dari serpihan-serpihan diaspora global. Ini adalah “rekonstruksi bangsa yang tak sempat menjadi negara,” bukan “penjajahan oleh bangsa yang sudah punya negara.”

Dalam semangat ini, pemahaman terhadap Zionisme membutuhkan lensa yang lebih berlapis: bukan hanya sebagai proyek politik, tetapi juga sebagai trauma historis, aspirasi kebudayaan, dan proses perubahan sosial yang kompleks. Kritik tetap penting, terutama terhadap praktik negara Israel hari ini, tetapi kritik itu akan lebih tajam bila didasarkan pada pemahaman yang historis, kultural, dan manusiawi—bukan pada simplifikasi ideologis semata seperti penuturuan kultum "Ustadz YouTube" kekinian. Kini, di era globalisasi dan keterbukaan, tugas generasi muda Indonesia bukan hanya memekikkan slogan, tetapi merawat empati dan menata diplomasi dengan kepala dingin. Dunia tidak dibangun dari dendam, tetapi dari dialog yang berakar pada keberanian memahami realitas sejarah secara utuh, mengamini—meskipun berbeda iman—narasi historis dalam kitab sucinya masing-masing; atau jangan-jangan kita memang bukan bangsa "orang percaya"(?). Katakan saja...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun