Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Zionisme: Nasionalisme Diaspora Bukan Kolonialisme Barat

5 Juni 2025   01:34 Diperbarui: 5 Juni 2025   07:11 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekelumit diplomatik Israel - Indonesia  (sumber: ai)

Zionisme menjadi contoh konkret bagaimana gerakan identitas dapat mengambil bentuk organisasi modern yang sistematis. Namun, transformasi tersebut tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia berlangsung dalam lanskap konflik dengan komunitas Arab setempat dan dalam bayang-bayang kekuatan kolonial Inggris. Di sinilah dialektika Zionisme menjadi kompleks: ia adalah gerakan pembebasan bagi satu kelompok, tetapi juga menimbulkan dislokasi bagi kelompok lain. Kompleksitas ini menyerupai pengalaman Indonesia pascakolonial dalam menata ulang kebangsaan. Di tengah euforia kemerdekaan, negara ini juga menghadapi dilema integrasi antara berbagai etnis, eksil politik, dan diaspora intelektual yang pernah tercerabut. Hubungan negara dengan komunitas eksil 1965, misalnya, mencerminkan dinamika antara trauma sejarah dan kehendak untuk menyatukan kembali identitas kebangsaan secara inklusif.

Di sinilah letak urgensinya bagi publik Indonesia untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas, tenang, dan historis dalam menyikapi pernyataan Presiden Prabowo bahwa Indonesia siap mengakui Israel. Apresiasi terhadap eksistensi negara-bangsa Yahudi tidak identik dengan persetujuan terhadap segala kebijakan pemerintah Israel. Sama seperti kita mengakui bangsa Myanmar, meski menentang rezim militernya, atau mengakui Tiongkok, meski berbeda sistem negaranya, maka pengakuan terhadap Israel sejatinya adalah ekspresi rasional dari prinsip realisme diplomasi yang matang. Dalam konteks ini, pidato Bung Karno yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang tidak minder dan tidak buta sejarah” menjadi relevan. Mengakui eksistensi Yahudi sebagai bangsa berarti mengakui pula bahwa sejarah dunia penuh dengan simpul-simpul tragis yang harus kita pahami, bukan kita tutup rapat.

Perbandingan ini menegaskan bahwa proyek nasionalisme modern, baik di Israel maupun Indonesia, selalu dibentuk oleh kontradiksi internal dan kontestasi sosial. Zionisme tidak bisa dipahami secara monolitik sebagai penjajahan, karena ia juga mengandung elemen emansipatoris, mobilisasi kolektif, dan pencarian identitas yang tercerabut. Sama seperti Indonesia yang mengakui peran diaspora dalam diplomasi kebangsaan, atau yang perlahan merehabilitasi eksil-eksil masa lalu dalam memori kolektif bangsa, Zionisme pun adalah upaya membangun rumah bagi mereka yang tak lagi memiliki tempat di dunia. Bung Karno dalam pidato-pidatonya menekankan pentingnya "bangsa sebagai konstruksi kehendak politik"—bahwa nasionalisme bukan hanya soal geografi, tapi tentang semangat, kesadaran, persamaan nasib, dan kehendak bersama. Dalam semangat yang sama, Zionisme muncul sebagai respons terhadap keterasingan kolektif, bukan sebagai ekspansi kekuasaan.

Namun dalam realitas sejarahnya, tragedi Nakba 1948 yang mengakibatkan pengungsian massal masyarakat Palestina tetap merupakan luka kemanusiaan yang tak terelakkan. Tetapi narasi ini juga perlu dilengkapi dengan fakta bahwa komunitas Yahudi di banyak negara Arab seperti Irak, Yaman, Suriah, dan Mesir, turut mengalami pengusiran, diskriminasi, dan kekerasan—fenomena yang oleh sebagian akademisi disebut sebagai “Jewish Nakba.” Sekitar 850.000 Yahudi meninggalkan dunia Arab sejak 1948 hingga 1970-an, dalam kondisi yang seringkali memaksa dan penuh kekerasan. Mereka yang datang ke Israel tidak datang sebagai penjajah, melainkan sebagai pengungsi yang membawa luka dan kerinduan atas rumah. Coba bayangkan jika hal tersebut terjadi oleh masyarakat keturunan Jawa di Suriname.

Tabel fenomenologi populasi Yahudi di negara-negara arab (Sumber: ujs.org.uk)
Tabel fenomenologi populasi Yahudi di negara-negara arab (Sumber: ujs.org.uk)

Aspek ini menegaskan bahwa Zionisme, dalam sebagian dimensinya, bukanlah kolonialisme klasik, melainkan proyek nasionalisme plural—sebuah mozaik komunitas Yahudi dari berbagai latar belakang etnis dan geografis. Di Israel hari ini, terdapat Yahudi Ashkenazi dari Eropa, Yahudi Mizrahi dari dunia Arab, Yahudi Etiopia berkulit hitam, dan bahkan Yahudi Arab yang berbahasa Arab dan membawa tradisi lokal. Selain itu, terdapat pula komunitas Yahudi yang beragama Muslim dan Kristen, termasuk segmen kecil Bnei Menashe dari India dan komunitas Yahudi Kaifeng dari Tiongkok. Fenomena ini memperlihatkan bahwa Zionisme bukanlah etnonasionalisme eksklusif, tetapi etnonasionalisme yang merekonstruksi bangsa dari serpihan-serpihan diaspora global. Ini adalah “rekonstruksi bangsa yang tak sempat menjadi negara,” bukan “penjajahan oleh bangsa yang sudah punya negara.”

Dalam semangat ini, pemahaman terhadap Zionisme membutuhkan lensa yang lebih berlapis: bukan hanya sebagai proyek politik, tetapi juga sebagai trauma historis, aspirasi kebudayaan, dan proses perubahan sosial yang kompleks. Kritik tetap penting, terutama terhadap praktik negara Israel hari ini, tetapi kritik itu akan lebih tajam bila didasarkan pada pemahaman yang historis, kultural, dan manusiawi—bukan pada simplifikasi ideologis semata seperti penuturuan kultum "Ustadz YouTube" kekinian. Kini, di era globalisasi dan keterbukaan, tugas generasi muda Indonesia bukan hanya memekikkan slogan, tetapi merawat empati dan menata diplomasi dengan kepala dingin. Dunia tidak dibangun dari dendam, tetapi dari dialog yang berakar pada keberanian memahami realitas sejarah secara utuh, mengamini—meskipun berbeda iman—narasi historis dalam kitab sucinya masing-masing; atau jangan-jangan kita memang bukan bangsa "orang percaya"(?). Katakan saja...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun