Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perppu PPN: Obati Luka dengan Belati

27 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   10:02 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi polarisasi masyarakat pasca pilpres, sumber: Grok AI

Pasca pemilihan presiden 2024, situasi politik di Indonesia masih dipenuhi dengan polarisasi yang mencolok di kalangan masyarakat. Polarisasi ini tidak hanya terbatas pada perbedaan pilihan politik, tetapi juga merambah ke berbagai isu kebijakan publik yang krusial. Ketegangan antara kelompok masyarakat diperparah oleh informasi yang beredar di media sosial (terutama di aplikasi X/Twitter), yang cenderung memperkuat pandangan program kampanye pasangan calon pilpres yang telah kalah berkompetisi.

Salah satu isu yang memicu ketidakpuasan adalah rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, yang telah menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Banyak pihak, termasuk pelaku usaha dan organisasi masyarakat sipil, mengkhawatirkan bahwa kenaikan ini akan semakin membebani daya beli masyarakat secara berkepanjangan yang sudah dalam kondisi rentan.

Sebagai respons terhadap penolakan yang meluas ini, muncul wacana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai upaya untuk menunda atau bahkan membatalkan kenaikan PPN. Usulan penerbitan perppu ini didasarkan pada argumentasi bahwa dinamika atas polemik ini memerlukan intervensi cepat dan luar biasa dari pemerintah, yang salah satunya dapat diwujudkan melalui penerbitan perppu.

Artikel ini akan mengulas kembali dinamika tuntutan penerbitan perppu untuk penundaan kenaikan PPN. Apakah perppu menjadi solusi yang bijak, atau justru memperburuk ketidakpastian ekonomi? Pertanyaan inilah yang hendak dibahas sekalipun aspirasi yang mendasari tuntutan tersebut tidak serta-merta dikesampingkan, melainkan sebagai indikator pemenuhan syarat "kegentingan yang memaksa".

Kilas Balik

Rencana untuk menaikkan PPN menjadi 12% sebenarnya bukanlah isu baru dalam ranah kebijakan perpajakan. Kebijakan ini telah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada tahun 2021. Oleh karena itu, kritik yang dilontarkan oleh pihak oposan menilai bahwa rencana ini murni merupakan kelanjutan dari program rezim yang ada sebelumnya. 

Kenaikan tarif yang dilakukan secara bertahap adalah upaya jalan tengah dengan tetap mempertimbangkan prospek basis penerimaan negara sekaligus mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri—terutama kita mengingat sosok Prabowo Subianto yang kerap mengkritik kebijakan utang negara pada saat beliau beberapa kali masih berkampanye sebagai calon Presiden sebelum pilpres 2024. Selain itu, kenaikan tarif PPN juga selaras tren international best practices, yang mana PPN merupakan pos penerimaan pajak andalan yang berbasis konsumsi saat dan setelah pandemi. Kebijakan ini tidak hanya membantu pemerintah dalam mengatasi defisit anggaran, tetapi juga memberikan fleksibilitas untuk mendanai program-program sosial insidental yang penting bagi masyarakat.

Dalam konteks kebijakan fiskal, penting untuk memahami adanya interdependensi fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa setiap keputusan terkait pengeluaran pemerintah dan perpajakan memiliki dampak timbal balik terhadap stabilitas dan keberlanjutan ekonomi secara keseluruhan. Sebagaimana juga terlihat dari pendekatan holistik yang telah dirancang pemerintah untuk meredam efek penurunan daya beli masyarakat melalui insentif perpajakan senilai Rp.265 Triliun atau sebesar 1,18% dari PDB, serta paket stimulus ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.

Usulan Peppu

Usulan penerbitan perppu untuk membatalkan atau menunda kebijakan kenaikan PPN 12% juga bukan barang baru, sebab sebelum pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, usulan ini sudah diinisiasi oleh adik kandung orang nomor satu Republik, Hashim Djojohadikusumo, selaku Ketua Satgas Perumahan. Lewat usulan perppu, Hashim mengharapkan adanya instrumen pemotongan tarif pajak atas pembelian rumah rakyat demi mendongkrak daya beli. Usul tersebut hadir jauh sebelum adanya Paket Kebijakan Ekonomi Kesejahteraan Kementerian Keuangan.

Adapun usul lain datang dari Anggawira, Wakil Komandan Tim Kampanye Nasional (TKN Fanta). Inisiasi yang diusulkan dua hari setelah usulan Hashim, 13 Oktober 2024, menunjukkan bahwa ada kekhawatiran dan perhatian yang cukup besar terhadap dampak kenaikan PPN terutama yang berfokus pada pembatalan pemotongan tarif PPh badan menjadi 20%. Usulan-usulan tersebut mencerminkan dinamika politik dan ekonomi di mana ada tekanan untuk memastikan kebijakan fiskal tidak membebani masyarakat terutama pelaku UMKM dan masyarakat menengah kebawah pada masa transisi pemerintahan. Pada akhirnya, dua usulan tersebut sebatas wacana saja sebab masih ada cara lain mengakomodir kepentingan itu sebelum Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 disahkan.

Belakangan, lebih tepatnya setelah kampanye petisi #TolakPPN12Persen viral ke permukaan, usulan perppu kembali mencuat. Dari pengamatan sepintas di aplikasi X/Twitter, komunitas yang memviralkan tagar tersebut mendapat sumbangan immaterial berupa asupan agitasi dan propaganda oleh lembaga penelitian Center of Economic and Law Studies (Celios). Gelombang penolakan kenaikan PPN pun tidak kunjung redup meski isu politik lain silih menggeser trend perbincangan kanal X. Jumlah penandatangan petisi pun masih berlanjut meskipun hanya di ambang 0,1% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia Raya.

Konten agitasi #PajakMencekik kini juga mulai menyentuh isu disparitas perpajakan dengan cara yang destruktif dan mendistorsikan etimologinya secara semu dari struktur makroekonomi kita. Hal ini mencuat setelah Direktur Hukum Celios, Mhd Zakiul Fikri, mengangkat kasus perppu Tax Amnesty di era Presiden Jokowi sebelumnya. Dalam pernyataannya, Zakiul menekankan bahwa, “jika Jokowi berani mengakomodasi kepentingan orang kaya, maka Prabowo seharusnya melakukan hal yang sebaliknya.”

Kritik terhadap Usulan Perppu Destruktif 

Pertama, kita harus berani menyatakan bahwa sebenarnya pandangan tersebut juga suatu bentuk destruksi—sarat perkelahian kelas— terhadap nilai-nilai dasar negara Republik Indonesia. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 asli dengan tegas menyatakan, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Prinsip ini menegaskan bahwa sistem ekonomi—kebijakan fiskal—kita tidak hanya berorientasi pada keuntungan individu atau kelompok, tetapi harus mengutamakan kepentingan bersama (Nasional) dan solidaritas sosial dengan tetap mengacu pada konsep ideologi sekuler pembentuk Pancasila: Sosio-Nasionalisme (kekayaan yang tak mengalir ke luar) dan Sosio-Demokrasi (permufakatan/perwakilan berdasarkan kebijaksanaan paripurna dan berkeadilan sosial).

Kita harus berani menyatakan bahwa sebenarnya pandangan tersebut juga suatu bentuk destruksi—sarat perkelahian kelas—terhadap nilai-nilai dasar negara Republik Indonesia... tetapi harus mengacu pada konsep ideologi sekuler pembentuk Pancasila: Sosio-Nasionalisme (kekayaan yang tak mengalir ke luar) dan Sosio-Demokrasi (permufakatan/perwakilan berdasarkan kebijaksanaan paripurna dan berkeadilan sosial).

Kedua, penerbitan perppu harus tetap memenuhi ketiga syarat klausul "kegentingan yang memaksa" sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Pertama, harus ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum—bukan polemik politik—dengan cepat. Kedua, undang-undang yang sudah ada harus tidak memadai untuk menyelesaikan masalah tersebut—padahal UU HPP sudah jelas mengatur prosedur konstitusional untuk mengubah klausul penetapan tarif PPN dan waktu ditetapkannya PPN 12%. Ketiga, ada kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan prosedur pembentukan undang-undang biasa.

Jadi, tidak bisa disimplifikasikan bahwa penerbitan Perppu hanya seputar political will saja. Sebab, bila Presiden Prabowo salah langkah mencerna "pandangan subjektif Presiden", moral hazard demokratis Prabowo kelak dipertanyakan kembali.

Ketiga, Perppu yang diterbitkan kurang dari seminggu sebelum pelaksanaan UU HPP Bab IV pasal 7 ayat 1 huruf b menimbulkan ketidakpastian hukum (uncertainty of law). Selain integrasi dan stabilitas hukum akan terguncang, hal tersebut juga mengganggu perencanaan bisnis dan menurunkan kepercayaan investor. Betapa besar kerugian material yang mungkin belum dikalkulasikan.

Kesimpulan 

Pada akhirnya, isu kenaikan PPN bukan hanya soal angka dan persentase, tetapi juga tentang keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Dalam konteks politik yang penuh dengan polarisasi dan ketegangan, wacana penerbitan perppu untuk menunda atau membatalkan kenaikan PPN menjadi semacam ujian bagi kepemimpinan baru. Perppu, sebagai alat kebijakan darurat, harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati. Jika digunakan tanpa dasar yang kuat, bisa berbalik menjadi pisau bermata dua. 

Pemerintah baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto harus membuktikan bahwa mereka sanggup menavigasi tantangan penerapan PPN 12% dengan bijak, mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kelompok tertentu—kelompok menengah saja. Hanya dengan demikian, kredibilitas dan kepercayaan publik bisa dipertahankan di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun